Karena kelompok militan Islam telah banyak membiayai pemberontakan selama 18 tahun dengan mengenakan pajak ekspor opium, mengubah Afghanistan menjadi produsen opiat terbesar di dunia.
Tak hanya itu, mereka juga dianggap telah mendukung kelompok teroris lainnya termasuk al-Qaeda dan Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM).
Baca Juga: Inggris Dalam Siaga Merah karena Rusia dan China Terus Tebar Ancaman Lewat Luar Angkasa
Maka dari itu dikhawatirkan kebijakan sosial represif mereka, yang selama periode pemerintahan mereka sebelumnya dari tahun 1996 hingga 2001 termasuk perampasan hak-hak perempuan secara virtual dan penindasan terhadap Syiah dan etnis minoritas, juga dapat kembali.
Namun, Taliban telah membuat sejumlah janji yang jika ditepati, dapat mengantarkan pemerintah yang lebih toleran terhadap hak-hak minoritas dan kurang toleran terhadap kelompok teroris.
Para pemimpin di Beijing, Tehran, dan Islamabad telah bekerja tanpa lelah selama sebulan terakhir untuk memastikan Taliban memahami bahwa harapannya akan normalisasi diplomatik dan integrasi regional bergantung pada kemampuannya untuk menepati janji-janji itu.
Baca Juga: Rusia Pastikan Bergabung Dalam Latihan Bersama di China, Ahli: Bukti Saling Percaya Awasi Asia Tengah
Selama kontak telepon mereka, Xi Jinping mengatakan kepada Putin bahwa China menghormati kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas teritorial Afghanistan serta mendukung kebijakan non-intervensi dalam urusan internal Afghanistan.
"China siap untuk meningkatkan dialog tentang Afghanistan dengan Rusia dan anggota komunitas internasional lainnya," kata Xi, seraya menambahkan bahwa China bermaksud membangun kerangka kerja politik untuk interaksi yang terbuka dan toleran dengan semua pihak yang berkepentingan di Afghanistan.***