MS Kaban Sebut MPR Perlu Sidang Istimewa Adili Presiden, Refly Harun: Pelanggaran 2 UU Bisa Menjadi Celah

- 20 Juli 2021, 22:04 WIB
Kolase foto MS Kaban (kiri), Presiden Jokowi dan Refly Harun
Kolase foto MS Kaban (kiri), Presiden Jokowi dan Refly Harun /instagram @mskaban @jokowi @reflyharun

ISU BOGOR - Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun menilai ada celah sebetulnya untuk mengadili Presiden Jokowi sebagaimana pernyataan Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Ummat MS Kaban yang meminta MPR menggelar sidang istimewa.

"Jadi MPR dan Presiden itu lembaga sederajat tidak boleh lagi ada atas bawah. Berlaku check and balanches, adalah perumusan pasal 7A, pasal 7B tentang impeachment, tentang pemberhentian presiden," katanya dalam channel YouTube Refly Harun, Selasa 20 Juli 2021.

Jadi, kata Refly Harun, kalau presiden mau diberhentikan maka aktifkan klausul pasal 7A UUD 1945, bahwa presiden itu tidak lagi memenuhi syarat.

Baca Juga: Refly Harun Kembali Soroti Dua Hukuman: HRS Dibanding Jaksa, Pinangki Dapat Diskon 60 Persen

"Misalnya tidak lagi mampu secara jasmani maupun rohani untuk menjadi presiden dan wakil presiden. Atau dia melakukan pelanggaran hukum dan perbuatan tecela," kata Refly Harun.

Maka dari itu, kata Refly Harun, harus ada mekanisme konstitusionalnya untuk mengadili presiden.

"Yaitu di forum DPR pertamakali sebagai forum politik dari DPR lari ke mahkamah konstitusi selama 90 hari, kembali kepada DPR, baru bisa dilakukan sidang MPR untuk pemberhentian presiden dan wakil presiden," kata Refly Harun.

Baca Juga: Refly Harun Sebut Tindakan Bima Arya Laporkan HRS di Kasus RS Ummi Berlebihan: Langkahnya Blunder

Namun, kata Refly Harun, proses politik tersebut dinamakan bukan sidang istimewa sebagaimana yang diminta MS Kaban.

"Ya, sidang pemberhentian saja, sidang pemberhentian presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur oleh konstitusi," ungkap Refly Harun.

Jadi, paradigmanya agak berbeda atau tidak sama dengan yang diinginkan MS Kaban. Sebab, kata Refly Harun tidak bisa langsung ke MPR, tapi harus melalui wakil-wakil rakyat.

Baca Juga: Bima Arya Diteror Warganet Usai Jaksa Penuntut HRS Meninggal, Refly Harun: Dikasih Umpan dan Umpannya Dimakan

Menurutnya, meski wakil rakyatnya, baik MPR dan DPR mayoritas pendukung pemerintah ditambah anggota DPD jumlahnya terbatas, sehingga kecil peluangnya jika untuk mengadili Presiden Jokowi melalu sidang MPR.

"Anggota DPD 136, sementara anggota MPR sendiri total 575, dari 575 itu yang tidak menjadi pendukung pemerintah kan hanyalah Partai Demokrat dengan 54 kursi, PKS dengan 50 kursi, brarti 104 kursi dan PAN dengan 44 kursi, brarti cuma 148 kursi," kata Refly Harun.

Sehingga kalau untuk menggelar sidang istimewa untuk mengadili Presiden Jokowi melalui proses politik di DPR/MPR jika hitung-hitungan kursi sangat tidak mungkin.

Baca Juga: Jaksa Nanang Gunaryanto yang Tuntut HRS Meninggal, Refly Harun: Sempat Kesampingkan Saya Sebagai Ahli

"Jadi 148 kursi dibandingkan 575 dikurangi 148 kursi, ya itulah bukan pendukung pemerintah. Jadi secara teoritis memang kalau mengharapkan mekanisme yang normal-normal saja ya tidak akan DPR mengeluarkan jurus-jurus pemberhentian atau pemakzulan presiden dan wakil presiden," kata Refly Harun.

Termasuk juga misalnya DPR mengeluarkan jurus yang namanya hak angket untuk penyelidikan atas dugaan bahwa presiden dan wakil presiden atau instistusi dibawahnya telah melakukan pelanggaran hukum.

"Bisa jadi pelanggaran hukum apa, misalnya pelanggaran hukum governance kondisi darurat penanganan COVID-19, kalau menurut saya pelanggaran Undang-undang terjadi di many time berkali-kali," ungkap Refly Harun.

Termasuk pelanggaran terhadap Undang-undang nomor 6 tahun 2018 dan Undang-undang tentang bencana nasional atau darurat bencana.

"Itu berkali-kali dilanggar sesungguhnya, bahkan Perpres tentang pembentukan komite penanggulangan COVID-19 dan recovery economy atau pemulihan ekonomi nasional (KPC-PEN), itu saya kira bertentangan dengan Undang-undang," tegas Refy Harun.

Terkait dengan itu, maka Perpres KPC PEN itu bertentangan dengan dua undang-undang yaitu mengenai bencana dan kekerantinaan kesehatan.

Sebab, lanjut Refly Harun, leading sector penanganan COVID-19 saat itu tiba-tiba Menteri Perekenomian (Airlangga Hartarto) dibawahnya ada pelaksananya yaitu Menteri BUMN (Erick Thohir), sementara Menteri Kesehatan dan Kepala BNPB hanya dijadikan bawahan dari Menteri BUMN.

Menteri kesehatan, kata Refly Harun hanya dijadikan sterring commite, dengan demikian governance-nya saja sudah keliru dan melanggar undang-undang.

"Jadi (pelanggaran undang-undang itu) bisa menjadi celah (sidang MPR untuk mengadili presiden Jokowi) , kalau mau dipersoalkan, karena secara sengaja presiden melakukan pelanggaran undang-undang dalam hal penanggulangan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional," papar Refly Harun.

Namun, Refly Harun menegaskan, prosesnya tidak bisa melompat langsung sidang MPR, sebab paradigma bangsa Indonesia sudah berubah.

"Kalau dulu iya (bisa melompat langsung sidang istimewa MPR untuk mengadili Presiden). Kalau presiden dianggap sungguh-sungguh melanggar haluan negara maka DPR akan memberikan peringatan, jika tidak digubris dalam jangka waktu 2 bulan, akan diberikan peringatan kedua dalam jangka waktu 1 bulan, kemudian tidak juga digubris akan ada sidang istimewa," ungkapnya.

Sebelumya, MS Kaban di akun twitter-nya menilai pemerintah telah gagal menangani pandemi COVID-19.

Hal ini, kata MS Kaba, terbukti dari perbedaan pendapat antara menteri dan presiden.

“Presiden pun tak tau kapan Pandemic akan teratasi. Terkendali kata LBP, blum terkendali kata Presiden.Presiden dan opung LBP berbeda lihat situasi,” tulis MS Kaban dikutip Isu Bogor di akun twitter-nya, Selasa 20 Juli 2021.

 

Maka dari itu, kata mantan Menteri Kehutanan itu meminta MPR agar segera melakukan Sidang Istimewa untuk mengadili Presiden Jokowi.

“Kalau bgtu apa bisa rakyat berharap hny dgn permohonan maaf. PKPM jika gagal adalah kegagalan Presiden .MPRRI perlu SI,adili Presiden,” tegasnya.

Bahkan, MS Kaban juga mendesak pimpinan partai politik ikut bertanggungjawab atas kondisi saat ini.

"Jika ketua2 parpol merasa bertanggung jwb thd NKRI amanat psl 3 UUD 45.MPR RI berfungsilah," tegasnya.***

Editor: Iyud Walhadi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x