Perintah Rahasia Bocor, Militer Myanmar Dikabarkan Ingin Diberi Akses Sadap Percakapan Warga

5 Juli 2021, 13:55 WIB
Ilustrasi teknologi telekomunikasi 5G. /Pixabay/Elmira Ashirova

ISU BOGOR - Beberapa pejabat perusahaan telekomunikasi di Myanmar membocorkan perintah militer setempat yang meminta untuk mengaktifkan teknologi Spyware agar bisa meyadap percakapan warganya.

Terutama, bagi percakapan warga yang tergolong aktivis antikudeta dan pendukung demokrasi setelah ada kudeta terhadap pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi pada Senin, 1 Februari 2021.

Aung San Suu Kyi yang menang lewat pemilihan umum (pemilu) ada November 2020 dituduh melakukan kecurangan dan kini dalam penahanan atas perintah militer Myanmar.

 

Baca Juga: Gawat, Kota Miami Amerika Serikat Dikepung Bencana Badai Tropis Elsa Perayaan Kemerdekaan Dibatalkan

 

Tekanan junta militer Myanmar terhadap perusahaan telekomunikasi untuk mengaktifkan teknologi spyware membuat Senior eksekutif asing perusahaan itu tidak oleh berpergian luar negeri tanpa izin.


Perintah rahasia dari Departemen Pos dan Telekomunikasi (PTD) Myanmar pada pertengahan Juni mengatakan para eksekutif senior, baik orang asing maupun warga negara Myanmar, harus meminta izin khusus untuk meninggalkan negara itu.

Seminggu kemudian, perusahaan telekomunikasi dikirimi surat kedua yang memberi tahu mereka bahwa mereka memiliki waktu hingga Senin 5 Juli untuk sepenuhnya menerapkan teknologi spyware.

Teknologi itu diminta untuk dipasang agar pihak berwenang dapat memata-matai panggilan, pesan dan lalu lintas web serta melacak penggunanya.

 

Baca Juga: Kondominium di Kota Miami Amerika Serikat Runtuh, Kini Bersiap Menghadapi Badai Tropis Elsa

Sayangnya dokumen perintah rahasia itu belum dapat dilihat media massa Reuters.

Dikatakan sumber rahasia, arahan tersebut mengikuti tekanan dari junta militer Myanmar terhadap perusahaan telekomunikasi, akibat kudetanya terhadap Aung San Suu Kyi terus-menerus diprotes dengan pemberontakan dahsyat.


Namun, junta militer Myanmar tidak pernah mengomentari upaya pengawasan elektronik seperti yang dibocorkan sumber rahasia.

Tetapi junta telah mengumumkan segera setelah merebut kekuasaan dari Aung San Suu Kyi, tujuannya untuk meloloskan RUU keamanan siber.

RUU itu memuat keharusan penyedia telekomunikasi untuk memberikan data saat diminta.

Termasuk menghapus atau memblokir konten apa pun yang dianggap mengganggu persatuan, stabilisasi, dan perdamaian.

Di dalamnya, terdapat juga untuk mengubah undang-undang privasi yang membebaskan pasukan keamanan untuk menyadap komunikasi.

 

Baca Juga: Bawa Petasan Warna-Warni, Pendemo di Myanmar Berlarian Sebelum Bakar Baju Militer


Rincian Tekanan

Larangan berpergian bagi pejabat perusahaan telekomunikasi lokal maupun internasional datang setelah tekanan intensif dari pejabat militer untuk menyelesaikan implementasi peralatan pengawasan.

Sumber, yang berbicara dengan syarat anonim karena takut akan pembalasan, mengatakan larangan itu dimaksudkan untuk menekan perusahaan telekomunikasi menyelesaikan pengaktifan teknologi spyware.

Tiga sumber telekomunikasi lainnya, yang juga berbicara dengan syarat anonim, mengatakan pihak berwenang telah meningkatkan tekanan pada perusahaan untuk menerapkan intersepsi.

Lain lagi, Dua sumber mengatakan perusahaan telah diperingatkan berulang kali oleh pejabat junta untuk tidak berbicara secara terbuka kepada media tentang penyadapan tersebut.

Sayangnya, telenor menolak berkomentar. Tidak ada tanggapan segera atas permintaan komentar dari Ooredoo, MPT milik negara dan Mytel, perusahaan patungan antara Viettel Vietnam dan konglomerat milik militer Myanmar.

 

Baca Juga: Ilmuwan Inggris Memperingatkan Bahwa Pencabutan Aturan Covid-19 Ibarat Membangun Pabrik Varian Baru

 

Merunut ke belakang, beberapa bulan sebelum kudeta 1 Februari, penyedia layanan telekomunikasi dan internet diperintahkan untuk memasang spyware agar memungkinkan tentara menguping komunikasi warga.

Dikabarkan, Reuters tidak dapat menentukan seberapa luas teknologi pengawasan telah dipasang dan digunakan, tetapi empat sumber mengatakan Telenor ASA (TEL.OL) Norwegia dan Ooredoo QPSC (ORDS.QA) Qatar belum sepenuhnya mematuhi.

Pertama, pada Senin, 1 Februari, militer Myanmar memutus akses internet dan masih belum sepenuhnya dibangun kembali.

Perusahaan telekomunikasip pun dipaksa memberikan daftar situs web dan nomor telepon aktivis untuk diblokir.***

Editor: Chris Dale

Tags

Terkini

Terpopuler