Film 'Dirty Vote' Ungkap Praktik Politik Gentong Babi di Balik Pemilu 2024, Apa Itu?

- 11 Februari 2024, 19:43 WIB
Film dokumenter baru-baru ini,
Film dokumenter baru-baru ini, /Foto/YouTube PSHK Indonesia
ISU BOGOR - Film dokumenter baru-baru ini, "Dirty Vote", telah menggetarkan panggung politik Indonesia dengan mengungkap serangkaian praktik gelap yang terjadi selama proses Pemilihan Umum 2024. Dalam film ini, ketiga ahli hukum tata negara secara berani mengekspos dugaan kecurangan yang melibatkan bahkan Presiden Joko Widodo.

Dikutip dari YouTube PSHK Indonesia, 11 Februari 2024, terungkap dalam film tersebut, diduga Presiden Jokowi terlibat dalam berbagai tindakan curang untuk memastikan kemenangan calon yang diunggulkan, termasuk putranya sendiri, Gibran Rakabuming Raka. Meskipun tidak secara langsung mendukung pasangan calon manapun, gerak-gerik Jokowi terlihat cenderung mendukung pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Salah satu sorotan utama dalam film adalah penggunaan bansos sebagai alat politik. Bivitri Susanti, seorang ahli hukum tata negara yang menjadi narasumber dalam film, menjelaskan bahwa bansos telah dijadikan sebagai alat untuk memengaruhi opini publik dan memperoleh dukungan politik. Data yang disajikan dalam film menunjukkan bahwa anggaran bansos melonjak tajam menjelang pemilihan umum, memberikan indikasi kuat adanya motif politik di balik pemberian bansos tersebut.

Baca Juga: Buka Pagelaran Wayang Golek di Sukamakmur, Pj Bupati Bogor Ajak Masyarakat Sukseskan Pemilu 2024

Namun, yang lebih menarik adalah istilah yang diungkap dalam film tersebut, yaitu "Politik Gentong Babi". Konsep ini mirip dengan yang dikenal sebagai "Politik Pork Barrel" di negara-negara lain. Politik Gentong Babi mengacu pada praktik penggunaan dana publik untuk kepentingan politik yang sempit, sering kali mengorbankan kepentingan yang lebih besar dari masyarakat umum.

Sebagaimana dijelaskan dalam film, politik gentong babi seringkali menghasilkan proyek-proyek yang bermanfaat secara politis bagi sejumlah kecil orang atau kelompok, sementara pada saat yang sama meninggalkan kebutuhan masyarakat umum yang lebih besar tidak terpenuhi. Hal ini menciptakan ketidakadilan dan ketimpangan dalam distribusi sumber daya publik.

Meskipun demikian, film "Dirty Vote" juga membawa sorotan pada upaya-upaya reformasi yang dapat dilakukan untuk mengendalikan praktik politik gentong babi. Peningkatan transparansi dalam alokasi dana, pengawasan yang lebih ketat dari badan legislatif, dan partisipasi aktif masyarakat menjadi kunci untuk memastikan bahwa keputusan politik didasarkan pada kebutuhan riil masyarakat dan bukan pada kepentingan politik sempit.

Baca Juga: KPU Kota Bogor Siapkan Strategi Cermat dalam Distribusi Logistik Pemilu 2024

Kontroversi yang dipicu oleh film ini tentu akan terus memanas, dengan panggilan untuk transparansi dan akuntabilitas yang semakin membesar dari berbagai kalangan masyarakat. Semakin terbuka dan transparannya proses politik, semakin besar juga harapan untuk mewujudkan pemerintahan yang benar-benar melayani kepentingan rakyat.

Apa Itu Politik Gentong Babi?

Sebelum kita melangkah lebih jauh, mari kita pahami apa yang dimaksud dengan "Politik Gentong Babi". Sebagaimana dikutip dari CAWG.org istilah ini mirip dengan yang dikenal sebagai "Politik Pork Barrel" di negara-negara lain. Politik Gentong Babi mengacu pada praktik penggunaan dana publik untuk kepentingan politik yang sempit, yang sering kali mengorbankan kepentingan yang lebih besar dari masyarakat umum.

Salah satu contoh yang sering dikutip dalam konteks ini adalah proyek-proyek infrastruktur yang tidak efisien atau tidak perlu, yang didanai menggunakan dana publik untuk mendapatkan dukungan politik. Proyek-proyek seperti ini biasanya memberikan manfaat politik yang jelas bagi sejumlah kecil orang atau kelompok tertentu, sementara pada saat yang sama meninggalkan kebutuhan masyarakat umum yang lebih besar tidak terpenuhi.

Bagaimana Praktik Politik Gentong Babi Memengaruhi Masyarakat?

Praktik politik gentong babi seringkali menghasilkan ketidakadilan dan ketimpangan dalam distribusi sumber daya publik. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk kepentingan umum dipakai untuk kepentingan politik sempit, menyebabkan pemborosan dan ketidaksetaraan dalam pelayanan publik.

Salah satu contoh konkret dari praktik ini adalah penggunaan bansos dalam konteks politik, seperti yang diungkap dalam film "Dirty Vote". Data menunjukkan bahwa anggaran bansos sering dipergunakan untuk memengaruhi opini publik menjelang pemilihan umum, memberikan indikasi kuat bahwa bansos telah dijadikan sebagai alat politik untuk kepentingan tertentu.

Editor: Iyud Walhadi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x