ISU BOGOR - Keputusan Rusia untuk menghentikan pasokan uranium yang diperkaya ke perusahaan listrik AS akan membuat banyak reaktor nuklir Amerika offline dalam waktu satu tahun.
Hal itu bisa menyebabkan lonjakan harga listrik melebihi inflasi harga saat ini. Selain itu juga berpotensi beberapa daerah di AS tidak dapat memenuhi permintaannya.
Analisis The Hill tentang "dominasi tenaga nuklir Rusia" telah memperingatkan AS. Laporan tersebut, ditulis oleh mantan Wakil Menteri Departemen Energi Paul Dabbar dan peneliti energi Universitas Columbia Matt Bowen.
Menurut laporan itu, sebagiamana dilansir Sputnik News, Senin 13 Juni 2022, menunjukkan bahwa tenaga nuklir Rusia menyumbang lebih dari 20 persen dari kapasitas pembangkit listrik AS.
Baca Juga: Perang Rusia-Ukraina, NATO: Perdamaian Itu Mungkin
Hampir setengah dari uranium yang digunakan oleh 56 pembangkit listrik tenaga nuklir operasional di negara itu diimpor dari Rusia, Kazakhstan dan Uzbekistan.
Dabbar dan Bowen mencatat bahwa meskipun Rusia hanya menambang 6 persen uranium dunia, Rusia menguasai sekitar 40 persen pasar konversi uranium global, dan 46 persen dari total kapasitas pengayaan uranium.
Negara-negara lain bahkan lebih bergantung pada Rusia untuk kebutuhan pembangkit tenaga nuklir mereka seperti Finlandia, Republik Ceko, Hongaria, Finlandia dan Turki.
Negara-negara itu bergantung pada raksasa nuklir negara Rusia Rosatom untuk segala hal mulai dari penambangan uranium, penggilingan, konversi, pengayaan dan fabrikasi bahan bakar untuk konstruksi dan servis reaktor state-of-the-art.
Dabbar dan Bowen mendesak para pemimpin Barat untuk segera mempertimbangkan paparan mereka terhadap ekspor nuklir Rusia dan mengambil langkah-langkah untuk menguranginya atau menghadapi kejutan energi lain di tangan Putin.
Mereka juga mendesak pemerintah federal AS untuk memberikan bantuan dan insentif bagi perusahaan yang berbasis di AS konversi uranium dan fasilitas pengayaan untuk membangun kembali rantai pasokan bahan bakar nuklir negara yang bobrok.