Kelak Anak dan Menantu Duduk di Kursi yang Diduduki Bapaknya, Cak Nun Sindir Siapa?

- 9 April 2021, 11:48 WIB
Cak Nun.
Cak Nun. /Tangkapan layar YouTube CakNun.com

ISU BOGOR - Budayawan Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun kembali melontarkan sindiran untuk para pemimpin bangsa dan rakyat Indonesia terkait politik tanah air baru-baru ini.

Lewat tulisannya yang berjudul 'Para Pemimpin Kita yang Penuh Tanggung Jawab' di laman caknun.com, suami dari penyanyi Novia Kolopaking itu menjabarkan tentang situasi politik dinasti dan oligarki di Indonesia.

"Ini bukan masalah oligarki atau aplikasi feodalisme.

ليس الفتى من يقول كان أبي، ولكن الفتى ها أنا ذا

Kesatria bukan yang memamerkan “ini Bapak saya”. Satria adalah yang membusungkan dada “Ini lho saya”. Kata-kata Mutiara ini berlaku di seluruh dunia, tetapi tidak relevan untuk Indonesia," tulis Cak Nun, Kamis 8 Maret 2021.

Menurutnya, di antara bangsa-bangsa di dunia, bangsa Indonesia adalah bangsa yang paling berdaulat dan paling rasional.

Baca Juga: Belum Genap 24 Jam Umbu Landu Wafat, Ayah Mertua Cak Nun Juga Meninggal Dunia

Baca Juga: Umbu Landu Paranggi Meninggal, Cak Nun: Umbu Menghadap Allah Dalam Keadaan Berpuasa

"Sampai-sampai hantu-hantu dan sebagian kalangan Jin juga terpengaruh untuk lebih berdaulat dan lebih rasional dibanding masyarakat hantu dan bangsa-bangsa Jin lainnya," jelasnya.

Kemudian, Cak Nun, juga menjelaskan kalau dunia Barat berdemokrasi misalnya ketika menyelenggarakan Pemilu secara relatif steril atau imbas-imbis terhadap dimensi keuangan, Indonesia punya kedaulatan sendiri dan tidak mau membebek Negara-Negara Barat.

"Indonesia tidak mau pakai demokrasi steril. Harus ada money-politic. Setiap penduduk yang mencalonkan diri dari tingkat terbawah hingga puncak, harus jelas modal keuangannya mencukupi atau tidak," ungkapnya.

Baca Juga: Presiden Malioboro Umbu Landu Paranggi Meninggal Dunia, Cak Nun: Narasi Utama Umbu kepada Saya Kehidupan Puisi

Baca Juga: Cak Nun Angkat Bicara soal Cuitan Abu Janda: Yang Anda Maksud Kearifan Lokal Itu Apa?

Terserah mau pakai uangnya sendiri atau mengumpulkan pedagang-pedagang kakap untuk ikut membiayai, sehingga kelak kalau yang dibantu keuangan menjadi pejabat, tanggung jawabnya jelas.

Menurutnya, pejabat Indonesia adalah teladan dalam hal tanggung jawab. Kalau ia naik ke kursi jabatan dibiayai oleh umpamanya Taoke atau Cukong-cukong, maka nanti ketika menjabat pejabat Indonesia setia dan konsisten membuktikan tanggung jawabnya, terutama yang terkait dengan kekuasaannya untuk melancarkan jalan dan proyek para donaturnya.

Pejabat Indonesia paling mengerti bagaimana membayar budi. Mereka bukan tipe pengkhianat yang “habis manis sepah dibuang”.

Pejabat Indonesia moralnya tinggi, akhlaknya bisa diandalkan. Rakyat juga memiliki rasio yang jelas dalam memilih pejabatnya.

"Kalau calon pejabat sudah menyelenggarakan “Serangan Fajar” membagi-bagi uang kepada penduduk, maka penduduk juga sangat bertanggung jawab terhadap calon pejabat yang memberinya uang," jelasnya.

Berkat keteladanan para pemimpinnya, rakyat Indonesia juga tidak punya budaya materialistis atau mata duitan.

"Rakyat Indonesia tidak rakus atau eksploitatif terhadap siapapun yang meminta bantuan mereka untuk dipilih menjadi pejabat. Rakyat tidak melihat jumlah banyaknya uang yang diserangkan di waktu fajar," jelasnya.

Boleh hanya 100 ribu rupiah, atau bahkan maklum-maklum saja andaikan hanya 50 ribu rupiah. Itu sudah cukup untuk memilih calon pejabat sehingga menjadi pejabat. Rakyat Indonesia tidak rakus.

Rakyat Indonesia sangat pandai bersyukur, dan canggih memanfaatkan uang meskipun hanya 50 ribu rupiah.

Pun rakyat Indonesia sangat rasional, sangat memperhitungkan dimensi historisitas suatu keadaan. Kalau Bapaknya jelas-jelas dipilih secara nasional menjadi Presiden, ya sudah selayaknya kalau anaknya atau dan menantunya menjadi Walikota atau Bupati, kalau perlu menjadi Gubernur pada tahap berikutnya.

"Jangan bodoh. Memang demikian hukum alamnya, logika sosialnya maupun keniscayaan politiknya. Rasional dan kausalitatif-dialektis juga kalau rakyat juga sudah berpikir jauh untuk mengorientasikan kelak anak dan menantu ini duduk di kursi yang sekarang diduduki oleh Bapak atau mertuanya," ungkapnya.

Dulu terang benderang semua makhluk di bumi maupun langit tahu bahwa Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia adalah Bung Karno.

"Maka tidak ada yang nalar dan rasional melebihi kenyataan bahwa estafeta kepemimpinan berikutnya juga ada di tangan putri Bung Karno," katanya.

Sangat masuk akal bahwa partai politik terbesar dan paling pegang kendali sejarah Negara dan bangsa Indonesia haruslah putri Proklamator.

Menurutnya, bangsa Indonesia sudah sangat tua usia peradabannya. Mereka tidak membutuhkan slogan kosong dan jargon cengeng seperti itu. Kalau Kerbau terusnya ya Gudel.

"Kalau Sapi pemegang estafetnya ya Pedèt. Sangat rasional, sangat mendasar mempertimbangkan kontinuitas mutu sejarah. Regenerasi Kuda ya jangan Kadal, pewaris Buaya ya mosok Tokèk," katanya.***

Editor: Iyud Walhadi

Sumber: CakNun.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x