Bantu Krisis Myanmar, Indonesia Harus Jadi Aktor Utama di ASEAN

- 4 Februari 2021, 12:32 WIB
Warga Myanmar yang tinggal di Thailand melakukan aksi protes kudeta di depan gedung PBB di Bangkok, Thailand pada 2 Februari 2021.
Warga Myanmar yang tinggal di Thailand melakukan aksi protes kudeta di depan gedung PBB di Bangkok, Thailand pada 2 Februari 2021. /twitter.com/@Reuters

ISU BOGOR - Politisi Senior yang juga Penggerak APHR (ASEAN Parliamentarians for Human Rights) Eva Kusuma Sundari mendorong pemerintah Indonesia untuk menjadi leading actor atau aktor utama dalam membantu menyelesaikan krisis di Myanmar saat ini.

Menurut Eva, Indonesia selama ini sudah banyak kontribusi dan dianggap bisa mempengaruhi kebijakan Myanmar. Sebab selama Indonesia itu konkrit dalam mendukung persoalan di Myanmar. Seperti isu Rohingya.

"Nggak banyak ngomong, nggak banyak tekanan. Indonesia itu memang ngomongnya kalem, tapi nginjak kakinya kuat di internal Myanmar, dan bantuannya konkrit ke rakhine state, ada sekolah yang dibiayai, ada beasiswa yang digelontorkan, ada humanitarian aid yang terus digelontorkan, dan terus melakukan hubungan baik," ungkap Eva dalam webinar yang digelar Migrant Care, Kamis 4 Februari 2021.

Baca Juga: Biang Keroknya Ini, Jenderal Min Aung Hlaing Kudeta Myanmar

Menurutnya, di ASEAN itu Indonesia sangat diharapkan menjadi aktor utama dalam mempengaruhi negara-negara ASEAN lain.

"Minimal supaya bersikap paling tidak abstainlah kalau tidak kontraproduktif. Sebab jika kita ngomong Kamboja, Thailand dan Vietnam, mereka sudah clear sikapnya (soal Krisis Myanmar)itu adalah internal affairs, tapi indonesia kan tidak, indonesia lumayan," ungkapnya.

Maka dari itu, kata Eva, Indonesia masih diharapkan diberbagai level, baik di parlemen, masyarakat sipil dan tingkat pemerintahannya. "Jadi maksud saya gangguannya jangan kencang-kencanglah pada pemerintah kita," katanya.

Baca Juga: Senam Bang Jago di Tengah Kudeta Myanmar

Menurutnya, Indonesia kedepan harus berani melakukan embargo terhadap sejumlah sektor di Myanmar. Masyarakat sipil Myanmar mengharapkan agar keluar dari krisis embargo kembali diberlakukan.

"Terutama embargo kepada bisnis-bisnis yang dikuasai oleh kelompok militer. Sebab ada laporan sebelum kudeta itu militer baru melakukan perampokan tanah, istilahnya dan seminggu kemudian melakukan upaya coup (kudeta) yang karakternya emergency situations, padahal sebetulnya itu adalah upaya melindungi bisnis mereka (militer)," katanya.

Selain itu, informasi APHR di Myanmar kalau melakukan embargo yang palin berpengaruh itu adalah Uni Eropa, sebab investasi Uni Eropa cukup banyak disana.

Baca Juga: Aung San Suu Kyi Dikudeta, Indonesia Pastikan WNI di Myanmar Aman

"Tapi mereka mau tidak melakukan embargo seperti di zaman sebelum pemilu 2014, yang targetnya adalah spesifik yaitu bisnis-bisnis yang dikendalikan oleh militer. Nah kalau ini bisa di lakukan lobi-lobi ke embassy-embassy itu akan menolong," katanya.

Menurutnya, meski beban berat Indonesia saat ini masih berat karena Timor Leste, tapi setidaknya Indonesia bisa menjadi leading actor.

"Khususnya act free layer tadi dan tekanan dari kita harus dikuatkan dalam embargo bisnis militer dan kemudian akses untuk informasi. Sebab antar state di Myanmar saja itu provider yang hidup hanya yang dikontrol oleh militer, mudah-mudahan kita bisa merespon kebutuhan tersebut," pungkasnya.***

Editor: Iyud Walhadi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x