Heboh! 7 Gunung di Jawa Serentak Muncul Fenomena Awan Topi, Ada Apa? Ini Penjelasannya

- 5 November 2020, 21:23 WIB
Awan Lenticular di Gunung Arjuno Welirang, Kamis 5 November 2020.*
Awan Lenticular di Gunung Arjuno Welirang, Kamis 5 November 2020.* /Instagram @gunungindonesia

ISU BOGOR - Fenomena awan topi atau awan lenticular yang terjadi hari ini, Kamis 5 November 2020 membuat heboh jagat maya.

Wajar saja heboh, sebab fenomena alam awan berbentuk topi caping itu munculnya secara serentak di 7 gunung yang ada di Jawa.

Informasi dihimpun, 7 gunung itu yakni gunung itu yakni Arjuno, Welirang, Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing dan Lawu.

Baca Juga: Gunung Halimun di Bogor, Sepi Pendaki Tapi Ramai Peneliti Meski Penuh Misteri

Kemunculan awan dengan nama ilmianya lenticularis cloud itu, ramai diperbincangkan di sosial media, baik di twitter maupun instagram.

Seperti yang diunggah akun instagram @GunungIndonesia terlihat foto-foto dan video awan topi itu terekam begitu indah.

Dalam unggahannya menyebut "Gunung Jateng (Jawa Tengah) dan Jatim (Jawa Timur) pagi tadi kompak sekali. Awan lenticular yang menyelimuti terlihat indah dari bawah, namun badai menerjangmu diatas gunung,"

"Tetap utamakan persiapan dan keselamatan lur yang punya agenda muncak," tulisnya.

Baca Juga: Lirik dan Chord Gitar 2 Lagu Tentang Gunung Semeru

Bahkan dalam foto dan video tersebut, Gunung Indonesia menyusun foto fenomena awan topi dengan menuliskan nama-nama 7 gunung tersebut.

Sementara itu, dari sudut pandang ilmiah atau ilmu meteor dan iklim, awan topi atau awan cantik itu sudah biasa tumbuh di puncak-puncak gunung yang ada di Indonesia.

"Awan jenis itu memang sudah biasa muncul di sekitar pegunungan. Secara umum tidak berbahaya. Namun bagi dunia penerbangan cukup berbahaya."

"Sebab pesawat akan mengalami turbulensi atau guncangan," kata Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Teguh Tri Susanto, Kamis 5 November 2020.

Baca Juga: Cerita Petugas TNGHS yang Meninjau Longsor hingga Puncak Gunung Salak 3 lewat Jalur Suaka Elang Loji

Ia menyebut awan lenticularis ini terjadi akibat adanya gelombang gunung atau angin lapisan atas yang cukup kuat dari suatu sisi gunung dan membentur dinding pegunungan.

Sehingga, hal itu menimbulkan turbulensi di sisi gunung lainnya dan membentuk awan-awan bertingkat yang berputar seperti lensa.

”Awan-awan ini mengindikasikan adanya turbulensi atau putaran angin secara vertikal yang cukup kuat. Sehingga berbahaya bagi penerbangan rendah seperti helikopter di sekitar awan itu," ungkapnya.

Selain itu, kata Teguh, munculnya awan topi secara serentak di 7 gunung ini tidak mengindikasikan adanya fenomena alam hingga menimbukan bencana besar laiannya.

Baca Juga: Gunung Salak Terbelah Bukan Semata-mata Longsor, Petugas BTNGHS Temukan Fakta Mengejutkan Ini

"Ini hanya mengindikasikan adanya turbulensi di lapisan atas atau bukan di permukaan bumi itu tadi.Yang jelas fenomena ini memiliki kecepatan angin yang cukup kuat jika dekat pegunungan atau dibawahnya," ungkapnya.

Sementara itu, dikutip dari climateinfo.com, Ahrens, seorang pakar Meteorologi, dalam bukunya Essential of Meteorology menggolongkan awan lenticularis sebagai subklas awan khusus.

Hal ini karena memang bentuk awan Lentikularis atau awan topi ini yang unik dan juga ketinggian terbentuknya dapat berada pada level awan rendah, awan menengah dan awan tinggi.

Baca Juga: Gunung Salak Bogor Terbelah, BNPB: Itu Pendalaman dan Pelebaran Jalur Sungai Saat Hujan Lebat Turun

Berdasarkan hal tersebut maka awan Lenticularis dibedakan menjadi tiga jenis, pertama Stratocumulus standing Lenticular (SCSL), merupakan awan Lenticularis yang terbentuk pada ketinggian kurang dari 2.000 meter.

Kedua, Altocumulus standing Lenticular (ACSL), jika awan Lenticularis tersebut terbentuk pada ketinggiannya antara 2.000 - 7.000 meter.

Dan ketiga Cirrocumulus standing Lenticular (CCSL), adalah awan Lenticularis yang berada pada ketinggian di atas 7.000 meter.

Sesungguhnya dibalik keindahan awan Lenticularis, terdapat bahaya tersembunyi. Kemunculan awan Lenticularis ini merupakan pertanda keberadaan gelombang gunung.

Baca Juga: Wisata Gunung Pancar Bogor Ramai, Polisi Disiplinkan Pemakaian Masker

Gelombang gunung ini akan dapat menyebabkan terbentuknya turbulensi yang berbahaya bagi penerbangan. Akan kita bahas di bagian selanjutnya.

Walaupun awan-awan Lenticularis ini lebih sering terlihat di pegunungan, pada beberapa kejadian langka, awan-awan Lenticularis juga muncul di dataran yang datar/rendah.

Menurut para ahli meteorologi, pembentukan awan Lenticularis pada daerah tersebut bukanlah hasil dari efek gelombang gunung, tetapi lebih dari kecepatan angin yang berfluktuasi karena adanya front di atmosfer.

Baca Juga: Gunung Sinabung Kembali Erupsi, Maskapai Penerbangan Diminta Waspada

Sedangkan dari perspektif kearifan lokal atau mitologi jawa, sejak zaman dahulu warga pecaya fenomena itu ada hubungannya dengan situasi politik atau kehidupan sehari-hari.

Bahkan, Gunung Semeru sebagai salah satu gunung yang sering diselimuti awan di puncaknya atau biasa disebut Mahameru, oleh warga sekitar selalu dikaitkan dengan mitos.

Biasanya awan bergaris mengikuti arah mata angin. Ada awan membentuk garis yang membujur dari utara ke selatan dan ada juga bergaris dari arah utara ke barat.

Kedua bentuk awan itu dinyakini dengan kondisi gunung (berkaitan dengan aktivitas magma).

Baca Juga: Waspada, Tiga Kecamatan Terdampak Abu Vulkanik Gunung Sinabung

Jika di pucak gunung itu di pagi hari (khususnya) muncul awan bergaris dari utara ke selatan, sebagai tanda gunung itu sedang aman.

Sebaliknya jika ada awan bergaris yang mengarah dari utara ke barat, bisa diartikan kondisi gunung sedang 'bergolak'.

Pergolakan gunung inilah dipercaya warga setempat, dengan kondisi politik tanah air. Entah hanya cerita mitos saja, yang jelas kepercayaan ini masih ada dikalangan warga sekitar pegunungan secara turun termurun.

Bahkan awan caping atau topi ini disebut dimaknai seperti fungsi dari topi itu sendiri yakni pelindung kepala.

Baca Juga: Mulai Dibuka 22 Agustus 2020, Ini Syarat Pendakian Gunung Rinjani di Masa Pandemi Covid-19

"Sehingga kondisi ini sering dikait-kaitkan dengan politik dalam negeri yang membutuhkan pelindung.Tapi di sekarang anggapan seperti ini sudah kurang dipercaya".

"Dulu, ditahun sekitar 1960 - 1980 masih banyak anggapan seperti itu," kata Soetarman (68) warga Desa Senduro, Kabupaten Lumajang.

Sementara itu dilansir skydayproject.com Pakar Meteorologi Yuxi Suo dan Leah Salditch juga menjelaskan awan lentikular ini kerap di salah artikan dan dikaitkan dengan mitor.

Baca Juga: Ini 4 Jalur Pendakian Gunung Rinjani yang Resmi Dibuka Sabtu 22 Agustus 2020

"Ada yang menyebut sebagai kemunculan UFO, itu imajinasi orang tentang awan lentikular. Jadi tidak perlu ditakuti, fenomena atmosfer ini umumnya disalah pahami tetapi dapat dengan mudah dijelaskan dengan beberapa ilmu atmosfer sederhana,"

"Awan berbentuk lensa yang tidak biasa ini (oleh karena itu dinamakan len-ticular) sering muncul di atas pegunungan, dan tetap di tempatnya untuk waktu yang lama," ujarnya.

Bahkan, ia menepis kepercayaan masyarakat barat yang menyebut pertanda invasi alien. "Tidak, bukan invasi alien melainkan hasil dari proses atmosfer yang berinteraksi dengan permukaan bumi yang tidak rata," jelasnya.

Baca Juga: Pendakian Gunung Salak Bogor Masih Ditutup, Kangen? Simak Video Ini

Orografi pengangkatan (awalan Oro- berasal dari bahasa Yunani kuno untuk 'gunung dan mengangkat diri sendiri) adalah fenomena di mana udara yang mengalir bertemu dengan rintangan topografis dan dibelokkan ke atas dan di atasnya.

"Seringkali rintangan ini berupa gunung, tetapi bisa juga berupa bangunan besar atau bangunan buatan manusia lainnya. Awan lentikuler dapat terbentuk tepat di atas rintangan, atau naik ke puncak troposfer. Udara yang dibelokkan ke atas di sekitar rintangan mengalami proses yang disebut ekspansi/pendinginan adiabatik," katanya.***

Editor: Iyud Walhadi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah