Lintang Kemukus Menurut Kosmologi Jawa Dulu dan Sekarang, Tanda Konflik Sampai Kehidupan Susah

13 Oktober 2020, 13:50 WIB
Lintang Kemukus. /Twitter @deningcarlo

ISU BOGOR - Fenomena Lintang Kemukus atau komet berekor yang sempat muncul di langit Tuban, Jawa Timur, Sabtu malam 10 Oktober 2020 terus menjadi buah bibir di kalangan masyarakat.

Meski pihak berwenang dalam hal ini, Lembaga Antariksa dan Penerbangan (LAPAN) dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah berusaha meluruskan istilah Lintang Kemukus secara ilmiah.

Tetap saja sebagian masyarakat Indonesia masih banyak yang meyakini bahwa fenomena alam dengan gejala mirip Lintang Kemukus patut jadi bahan renungan terkait situasi sosial politik kini maupun di masa mendatang.

Baca Juga: Fenomena Lintang Kemukus Menurut LAPAN Belum Bisa Dipastikan Nama Jenis Benda Luar Angkasa Tersebut

Bahkan, Ki Hargo Carito salah satu dalang wayang kulit yang juga pakar ilmu tentang struktur dan sejarah alam semesta berskala besar (kosmologi), kerap membuat tulisan tentang fenomena alam dan fakta kehidupan sosial. Diantaranya fenomena Lintang Kemukus.

Dikutip dari berbagai sumber, Ki Hargo sempat menceritakan benang merah fenomena alam Lintang Kemukus dengan situasi sosial dan politik dari sudut pandang kosmologi Jawa.

 

Bahkan, ia sempat bertutur, fenomena alam Lintang Kemukus pada 12 Agustus 2014 lalu memiliki kaitan erat dengan situasi politik saat itu yang berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat.

Baca Juga: Fenomena Komet Lintang Kemukus di Belahan Dunia, Mitos Pertanda Perang Sampai Isu Kiamat

Menurutnya, pada 12 Agustus 2014 sempat terlihat sebuah komet berekor dan orang Jawa menyebut dan meyakininya sebagai Lintang Kemukus.

Saat itu komet berekor itu melintas dan menyala terang di atas Kota Solo. Bagi orang Jawa munculnya benda tersebut di atas langit sebagai isyarat, sasmita, akan datangnya bencana besar.

"Saat itu Indonesia baru saja menyelesaikan Pilpres. Jokowi seorang priyayi asal Solo baru terpilih menjadi Presiden. Saat itu, beberapa bulan lagi akan dilantik," tuturnya dalam berbagai artikel yang ditulis dan dimuat disejumlah media massa.

Baca Juga: Fenomena Lintang Kemukus Menurut Astrophile, Legenda Keris Majapahit dan Istilah 'Berambut Panjang'

Tanda-tanda adanya, ontran-ontran, sudah mulai terlihat di tengah masyarakat. Ekses perpecahan para pendukung kedua paslon, Jokowi-JK Vs Prabowo-Hatta mulai terasa dalam masyarakat.

Perpecahan itu sesungguhnya sudah mulai terjadi sebagai imbas dari Pilkada Jakarta 2012. Saat itu Jokowi berpasangan dengan Ahok mulai menggunakan medsos sebagai alat kampanyenya.

 

Mereka tergabung dalam Jokowi-Ahok Social Media Volunteers (Jasmev). Para anggota Jasmev inilah yang kemudian dikenal sebagai “pasukan nasi bungkus” (panasbung).

Baca Juga: Fenomena Lintang Kemukus Muncul di Langit Jawa, Antara Mitos dan Tetengger Pagebluk

Tugasnya melakukan kampanye Jokowi-Ahok di medsos. Mereka juga bertugas mem-bully tanpa ampun kelompok yang berseberangan.

Sejak itu perang di medsos, bully mem-bully menjadi sangat massif dan praktik keseharian di masyarakat kita. Eskalasinya meningkat pada Pilpres 2014.

Apalagi Jokowi berhadapan dengan Prabowo orang yang notabene membawa dan membiayai Jokowi sebagai Gubernur DKI. Fakta munculnya Konflik di tengah masyarakat, dan munculnya lintang kemukus di atas kota Solo, bagi orang Jawa menjadi tanda-tanda alam yang paling nyata.

Baca Juga: Heboh Fenomena Lintang Kemukus Juga Terjadi di Negara Ini dengan Sebutan Fireball, Ini kata LAPAN

Tanda-tanda alam sangat lekat dengan kehidupan orang Jawa. Hal ini menjadikan mereka sangat dekat dengan alam dan waspada.

Di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta masyarakat masih sangat percaya dengan mitos yang disebut pulung gantung, atau juga dikenal dengan nama lintang clorot. Bentuknya sama dengan Lintang Kemukus.

Tangkapan layar video hhujan meteor 6 Oktober 2020 di atas langit Monterrey, Meksiko. earthsky.org

Bintang jatuh berekor ini dipercaya sebagai tanda kematian. Siapapun rumahnya yang kejatuhan pulung gantung, maka ada anggota keluarga yang bunuh diri. Kebanyakan dengan cara gantung diri. Karena itu disebut sebagai pulung gantung.

Baca Juga: Fenomena Lintang Kemukus Muncul di Langit Jawa, Antara Mitos dan Tetengger Pagebluk

Fenomena pulung gantung ini identik dengan kehidupan yang susah. Kebanyakan kepala keluarga yang gantung diri akibat tekanan ekonomi, kemiskinan, terbelit utang, atau menderita penyakit menahun.

Sejumlah penelitian menujukkan angkanya cukup signifikan. Sampai tahun 2017 rata-rata 30 orang meninggal karena gantung diri di Gunung Kidul.

Banyak yang menghubungkan kekacauan politik dan ekonomi di masa pemerintahan Jokowi dengan fenomena lintang kemukus yang menyala terang di atas kota Solo sebelum dia dilantik.

Baca Juga: Fenomena La Nina Segera Datang, BNPB Minta Masyarakat Waspadai Bencana Banjir dan Longsor

Alam telah memberi tanda-tanda. Tinggal kita bisa memahami atau tidak. Menjelang pilpres di sebagian masyarakat Jawa di Jateng, Jogya dan kawasan Mataraman di Jatim banyak yang mempercayai alam juga telah mengirimkan pesan.

Tanda yang paling nyata adalah matinya obor Asian Games yang dibawa oleh Jokowi. Bagi orang Jawa Jokowi dianggap telah kehilangan obor, simbol sebuah kehidupan.

Tangkapan layar heboh Lintang Kemukus muncul di Langit Jawa pada Sabtu malam 10 Oktober 2020. Instagram @ndorobeii

Simbol kekuatan politiknya. Sementara pasangannya Kyai Ma’ruf Amin burung merpatinya tak mau terbang ketika berlangsung kampanye damai. Kyai Ma’ruf dianggap tak punya kekuatan menggerakkan. Dia akan menjadi beban bagi Jokowi.

Baca Juga: Beredar Kabar Sejumlah Anak Buah Gatot Nurmantyo Ditangkap Selasa Subuh, Diantaranya Syahganda

"Itu semua hanya tanda-tanda alam. Orang Jawa yang rasional biasanya menyebutnya sebagai 'othak athik', 'gatuk, 'mencocok-cocokan.'

"Namun jangan buru-buru menilai hal itu sebagai sesuatu yang musyrik. Ajaran Islam juga mengajarkan bahwa perilaku alam erat kaitannya dengan isyarat dari Allah SWT kepada manusia," katanya.

Misalnya adanya bencana yang datang beruntun sebagai tanda kemarahan Allah SWT terhadap polah manusia yang semakin jauh dari ajaran agama.

"Karena itu kita dituntut untuk tafakur memahami fenomena alam. Tafakur coba memahami setiap peristiwa dan kejadian merupakan salah satu ciri orang beriman," tulisnya.***

Editor: Iyud Walhadi

Tags

Terkini

Terpopuler