Negara Barat Gencar Beri Sanksi Militer Myanmar, ASEAN Pilih Diplomasi, Begini Reaksi Junta

- 4 Juni 2021, 15:05 WIB
Tanggkapan layar foto Menteri Luar Negeri Brunei Darussalam Erywan Yusof.
Tanggkapan layar foto Menteri Luar Negeri Brunei Darussalam Erywan Yusof. /Chris Dale

ISU BOGOR - Dua hari berturut-turut, Kamis, 3 Juni 2021 dan Jumat, 4 Juni 2021 Militer Myanmar kedatangan tamu internasional yang menyoroti aksi kudeta terhadap Aung San Suu Kyi mengakibatkan ratusan jiwa tewas.

Setelah pada Kamis, 3 Juni 2021 Presiden Komite Internasional Palang Merah (ICRC) Peter Maurer bertemu dengan pimppinan Junta Militer Myanmar Min Aung Hlaing dengan respon yang tertutup dan menggantung.

Dikakabarkan dua orang diplomasi Brunai Darussalam yang mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dari Asia Tenggara (ASEAN) dikabarkan tiba pad Jumat, 4 Juni 2021.

Baca Juga: Huru-Hara Kudeta Mengganas, Isu kemanusiaan Mendesak, Junta Militer Myanmar Enggan Menolak Enggan Mengiyakan

Baca Juga: Kabar AA Gym Kasar ke Teh Ninih, Tak Menyangka, Warganet: Kalau Betul Begitu Kita Bantu Viralin Aja

Lapor kantor berita lokal Delta, dua utusan ASEAN telah tiba dan diperkirakan akan bertemu dengan Min Aung Hlaing pada hari Jumat ini.

Yaitu menteri luar negeri Brunei,  selaku ketua ASEAN tahun ini, dan sekretaris jenderal blok itu Lim Jock Hoi, juga dari Brunei.

PBB, negara-negara Barat dan Cina semuanya mendukung peran mediasi ASEAN.

Tetapi beberapa kekuatan Barat juga telah gencar memberlakukan sanksi yang meningkat untuk menargetkan anggota junta dan kepentingan ekonomi mereka.

"Ada sanksi baris ketiga dalam persiapan yang akan disetujui (dalam) beberapa hari mendatang," kata kepala urusan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell kepada Reuters, Kamis saat berkunjung ke Jakarta.

Baca Juga: Firasat? Sehari Sebelum Ayahnya Meninggal, Ria Ricis: Kalau Kangen Bilang Ya, Biar Aku Pulang

Walaupun sejaun ini, hanya ada sedikit kemajuan sejak 10 negara anggota termasuk Myanmar, mengatakan pada akhir April mereka telah mencapai 'konsensus' untuk mencoba mengakhiri krisis.

Milisi yang dipimpin dilatih Persatuan Nasional Karen (KNU) di negara bagian Karen Myanmar pada Jumat, 9 April 2021, yang didapatkan Reuters.
Milisi yang dipimpin dilatih Persatuan Nasional Karen (KNU) di negara bagian Karen Myanmar pada Jumat, 9 April 2021, yang didapatkan Reuters.

Konsensus mencakup pembicaraan politik dan menghentikan pertumpahan darah yang berlangsung selama 4 bulan terakhir sejak Senin, 1 Februari 2021.

Namun faktanya, korban tewas terus berlanjut dan junta militer Myanmar bukannya berbicara dengan pemerintah bawah tanah saingan, malah mencapnya sebagai kelompok teroris.

Baik sanksi maupun diplomasi maupun peningkatan kekerasan tidak memiliki dampak nyata pada junta.

Baca Juga: Lockdown Total, Kematian Pasien Covid-19 di Malaysia Masih di Atas 100 Kasus

Junta militer Myanmar berpendapat justru kudeta yang mengakhiri 10 tahun reformasi demokrasi tentatif akan membawa 'demokrasi yang disiplin'.

Tentara mengambil alih kekuasaan setelah mantan komisi pemilihan menolak tuduhan kecurangan dalam pemilihan November yang disapu oleh partai Suu Kyi.

Setelah ribuan orang selama 4 bulan ini berdomontrasi, Kamis, 3 Juni 2021, demo berlanjut dengan jumlah sekitar 400 pendukung pro-demokrasi turun ke jalan-jalan di pusat kota Yangon.

Demo itu termasuk terbesar baru-baru ini menentang kekuasaan militer di pusat komersial dan kota terbesar Myanmar.

"Kami berkumpul di protes hari ini untuk menunjukkan bahwa kami tidak akan membiarkan mereka memerintah kami," Zayar Lwin, seorang aktivis dan mantan tahanan politik yang menghadiri rapat umum itu, mengatakan kepada Reuters.

Baca Juga: Pasukan Zionis Tangkap Remaja di Lingkungan Sheikh Jarrah, Gegara Menggambar Bendera Palestina

Sementara itu, Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa mengatakan kepada Reuters melihat situasi Myanmar, balik ICRC maupun PBB, blok tersebut berencana untuk memberlakukan babak baru sanksi terhadap para jenderal yang berkuasa dan kepentingan ekonomi mereka dalam beberapa hari mendatang.

Menurut sebuah kelompok aktivis, Myanmar telah tenggelam dalam kekacauan sejak kudeta menggulingkan pemimpin terpilih Aung Suu Kyi. Setidaknya 845 orang telah dibunuh oleh pasukan keamanan dan lebih dari 4.500 dipenjara. Protes anti-junta berkobar setiap hari, konflik etnis telah muncul kembali dan ekonomi lumpuh karena pemogokan.

Huru-hara kudeta militer Myanmar terhadap pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi mengganas hingga menewaskan 845 orang, membuat Komite Internasional Palang Merah (ICRC) mendesak isu perlindungan kemanusiaan.

Presiden ICRC Peter Maurer adalah perwakilan paling senior dari organisasinya itu melakukan perjalanan ke ibu kota Naypyidaw untuk bertemu dengan pimppinan Junta Militer Myanmar Min Aung Hlaing.

Baca Juga: Kata Motivasi Hari Ini: Penting, 3 Cara Mengenal Diri Sendiri

Min Aung Hlaing yang banyak dikritik untuk ditolak dari pengakuan internasional akibat tindakannya mengkudeta Aung San Suu Kyi, Kamis, 3 Juni 2021 bersedia menemui Maurer.

"Orang-orang di Myanmar membutuhkan bantuan dan perlindungan mendesak," kata Maurer, menurut pernyataan ICRC yang dikutip IsuBogor.com dari Reuters, Jumat, 4 Juni 2021.

Dalam pertemuan itu dikatakan Maurer mengemukakan masalah 'penggunaan kekuatan selama operasi keamanan' dan berusaha membuat akses kemanusiaan yang lebih baik ke daerah konflik Myanmar.

Salah satunya, memulai kembali kunjungan penjara Komite Palang Merah terhadap Aung Suu Kyi yang diadili dengan berbagai tuduhan.

Mengenai konfirmasi tentang pertemuan tersebut, sayangnya Reuters tidak dapat menghubungi juru bicara junta Militer Myaanmar untuk memberikan komentar.

Baca Juga: Gaduh, BMKG Yakinkan Kabar Potensi Tsunami Tinggi Jawa Timur untuk Mitigasi Bencana

Dikabarkan kantor berita lokal Nikkei mengutip orang-orang yang mengetahui pertemuan itu, Kepala junta "tidak berkomitmen" tetapi dia tidak menolak permintaan Maurer.

Junta militer Myanmar membatasi menanggapi orang-orang yang dianggapnya sebagai ancaman bagi keamanan negara. militer mengklaim jumlah korban tewas lebih rendah daripada yang diberikan oleh kelompok hak asasi manusia dan PBB.***

Editor: Chris Dale


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah