"Terutama embargo kepada bisnis-bisnis yang dikuasai oleh kelompok militer. Sebab ada laporan sebelum kudeta itu militer baru melakukan perampokan tanah, istilahnya dan seminggu kemudian melakukan upaya coup (kudeta) yang karakternya emergency situations, padahal sebetulnya itu adalah upaya melindungi bisnis mereka (militer)," katanya.
Selain itu, informasi APHR di Myanmar kalau melakukan embargo yang palin berpengaruh itu adalah Uni Eropa, sebab investasi Uni Eropa cukup banyak disana.
Baca Juga: Aung San Suu Kyi Dikudeta, Indonesia Pastikan WNI di Myanmar Aman
"Tapi mereka mau tidak melakukan embargo seperti di zaman sebelum pemilu 2014, yang targetnya adalah spesifik yaitu bisnis-bisnis yang dikendalikan oleh militer. Nah kalau ini bisa di lakukan lobi-lobi ke embassy-embassy itu akan menolong," katanya.
Menurutnya, meski beban berat Indonesia saat ini masih berat karena Timor Leste, tapi setidaknya Indonesia bisa menjadi leading actor.
"Khususnya act free layer tadi dan tekanan dari kita harus dikuatkan dalam embargo bisnis militer dan kemudian akses untuk informasi. Sebab antar state di Myanmar saja itu provider yang hidup hanya yang dikontrol oleh militer, mudah-mudahan kita bisa merespon kebutuhan tersebut," pungkasnya.***