Gempa Magnitudo 9,1 dan Tsunami Ancam Selatan Jawa, Ini yang Dilakukan BPNB pada Awal Tahun 2021

- 29 Desember 2020, 22:43 WIB
Ilustrasi tsunami dan gempa banten, jawa timur dan selatan jawa*/
Ilustrasi tsunami dan gempa banten, jawa timur dan selatan jawa*/ /Instagram / Daryono BMKG//

ISU BOGOR - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) kembali mengumumkan potensi gempa dengan magnitudo 9,1 sampai potensi tsunami yang mengancam selatan Jawa.

Plt. Direktur Pemetaan dan Evakuasi Risiko Bencana BNPB Abdul Muhari menyebutkan potensi ancaman gempa dan tsunami dahsyat itu akan terjadi dua lokasi yang berada di kawasan selatan Banten – Jawa Barat dan selatan Jawa Tengah – Jawa Timur.

Sebagaimana dilansir dari laman BNPB Selasa 29 Desember 2020, Muhari menambahkan bahwa berdasarkan hasil riset ini, terdapat segmen yang berada di selatan Banten – Jawa Barat dengan potensi energi hingga magnitudo 8,8.

Baca Juga: Sumbar Kembali Diguncang Gempa 5,3 Magnitudo, BMKG: Tidak Berpotensi Tsunami

“Sedangkan segmen Jateng - Jatim berpotensi memiliki energi magnitudo 8,9 yang jika terlepas secara bersamaan akan menghasilkan potensi energi setara magnitudo 9,1,” ujarnya.

Guna mengantisipasi temuan ilmiah yang sudah dipublikasikan di dalam jurnal internasional Nature tersebut, BNPB telah mendesain upaya mitigasi terintegrasi. Kegiatan mitigasi itu mulai dilakukan awal Januari 2021.

Salah satu antisipasi itu yakni pembangunan greenbelt yang akan dilakukan dalam waktu dekat. Greenbelt atau sabuk hijau yang akan dibangun merupakan gugusan tanaman yang mengkombinasikan dua jenis pohon, yaitu mangrove dan pohon palaka.

Baca Juga: Gempa 6,0 Magnitudo di Sumbar, BMKG Sebut Getaran Terasa hingga 10 Kota dan Tak Berpotensi Tsunami

Mangrove ditanam di sisi menghadap ke laut dengan jenis pandanus atau jenis mangrove lain yang bisa tumbuh di substrat pasir. Tanaman ini berfungsi untuk mereduksi energi tsunami.

Sedangkan palaka, pohon yang termasuk tanaman keras ini berfungsi sebagai lapisan pelindung di sisi belakang atau sisi darat.

Ia menuturkan bahwa ketebalan dan formasi penanaman vegetasi ini akan diatur sedemikian rupa berbasis perhitungan ilmiah agar penetrasi tsunami tidak terlalu jauh ke arah darat dan dapat meminimalisir korban dan kerusakan di daratan.

Baca Juga: Gempa 6,3 Magnitudo Guncang Sumbar, BMKG: Tidak Berpotensi Tsunami

“Kegiatan penanaman ini diupayakan akan dimulai pada awal tahun dengan berkoordinasi dengan Pemda setempat,” ujar Muhari saat memaparkan hasil riset di hadapan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Provinsi Jawa Tengah, Senin 28 Desember 2020.

Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyambut baik informasi yang telah disampaikan sekaligus memberikan arahan agar para kepala daerah segera menindaklanjuti informasi tersebut.

Rencana mitigasi berbasis ekosistem (greenbelt) tersebut perlu segera dilakukan karena dapat digunakan sebagai frontline yang mengurangi dampak tsunami.

Baca Juga: Patahan Megathrust Mentawai Picu Gempa Bumi Magnitudo 8,9 di Padang, Disusul Tsunami 10 Meter

“Kita harus memanfaatkan momentum musim hujan yang masih berlangsung hingga bulan Maret tahun depan agar penanaman ini dapat berjalan baik dan vegetasi yang dinaman bisa tumbuh sempurna,” tegas Ganjar.

Berdasarkan data dari BNPB masih banyak kabupaten yang belum memiliki dokumen perencanaan penanggulangan bencana di antaranya Kajian Risiko Bencana (KRB).

Ganjar mendorong agar kabupaten yang belum memilikinya agar segera melakukan penyusunan KRB dengan pendampingan dari provinsi dan BNPB.

Hal ini dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk mengidentifikasi risiko bencana di seluruh kabupaten untuk selanjutnya menetapkan rencana aksi yang diperlukan.

Baca Juga: Viral Video Tsunami Akibat Gempa Turki Magnitudo 7.0, Terdengar Suara Jeritan Hingga Bangunan Hancur

Hal lain yang menjadi perhatian Ganjar adalah hasil riset yang disampaikan oleh Abdul Muhari pada saat tsunami 2011 di Jepang, yang menunjukkan bahwa tsunami seringkali menghasilkan kerusakan tambahan (collateral damage).

Kerusakan itu seperti kebakaran karena gelombang yang menerjang kilang minyak menghancurkan tempat penyimpanan minyak berskala besar, sehingga bahan yang mudah terbakar tersebut akan terbawa air dan membakar apa saja yang ditemukannya, baik di darat atau di laut.

Menyikapi potensi tersebut, Ganjar menyampaikan perlu dilakukan pertemuan dengan pihak Pertamina yang memiliki fasilitas penampungan bahan bakar minyak di Kabupaten Cilacap.

Baca Juga: Pelabuhan Ratu Sukabumi, Daerah Paling Rentan Terkena Tsunami 20 Meter

"Pertemuan ini bertujuan untuk mendiskusikan perlunya penguatan atau perbaikan fasilitas-fasilitas vital yang akan berpotensi memberikan collateral damage pada saat tsunami terjadi," katanya.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu memperkuat upaya pengurangan risiko bencana (PRB), seperti kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana tsunami.

Kesiapsiagaan tersebut dapat dilakukan dengan memperkuat desa tangguh bencana, melakukan latihan kesiapsiagaan bersama dengan pemerintah dan masyarakat terutama di daerah sepanjang selatan Jawa, minimal tiga kali dalam satu tahun.

Beberapa daerah teridentifikasi telah memiliki tempat evakuasi sementara (TES), namun tidak seluruhnya karena beberapa daerah terletak di dataran rendah.

Baca Juga: Banjir Sulsel, BNPB Komitmen Tetap Fokus Pantau Bencana Dalam Pandemi Covid-19

Untuk itu, BNPB menyampaikan untuk daerah-daerah yang berada di dataran rendah, TES dapat memanfaatkan sekolah atau bangunan-bangunan tinggi yang tahan gempa dan tsunami.

Selain itu, fasilitas umum seperti jembatan penyeberangan juga dapat digunakan sebagai temporary vertical evacuation, seperti yang sudah dilakukan di Jepang. Fasilitas tersebut harus didesain sedemikian mudah dijangkau oleh masyarakat yang akan berlari untuk menyelamatkan diri.***

Editor: Iyud Walhadi

Sumber: BNPB


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x