Omnibus Law Cipta Kerja Disahkan, #DPRKontol Jadi Trending Topic di Twitter dan Google

6 Oktober 2020, 11:10 WIB
Omnibus Law Cipta Kerja Disahkan, #DPRKontol Jadi Trending Topic di Twitter dan Google /

ISU BOGOR - Satu hari paska disahkan Undang-undang 'Saput Jagat' Omnibus Law Cipta Kerja, hujatan di jagat maya bertebaran, baik platform media sosial twitter hingga laman pencarian google. Berdasarkan pantauan hingga pukul 10.45 WIB, trending topik berisi hujatan semisal #DPRKontol #DPRRIKhianatiRakyat terus bertengger, Selasa 6 Oktober 2020.

Tak cukup sampai disitu, warganet juga terus mengunggah foto-foto aksi unjuk rasa dari masa ke masa yang mengutuk keras sikap DPR RI yang 'ndableg'. Sehingga foto-foto coretan dinding saat aksi unjukrasa beberapa tahun lalu berisi hujatan #DPRKontol seolah relevan dengan keputusan DPR RI yang mensahkan Omnibus Law Cipta Kerja.

Bagaimanapun tagar #DPRKontol hanyalah bagian kecil ekspresi publik yang sedari awal menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja disahkan karena dianggap tak mewakili kepentingan masyarakat banya.

Baca Juga: Omnibus Law Cipta Kerja Ditolak Buruh, Menaker Tulis Surat 'Cinta': Salam Sayang Saya

Baca Juga: Kabar Terkini Tentang BLT BPJS Ketenagakerjaan Tahap 5, Menaker Sebut Hari Ini Batas Akhir

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyebutkan aksi "mogok massal" terkait pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja akan terus digelar dan diikuti buruh-buruh lintas sektor, seperti industi kimia, energi, dan pertambangan di Jabodetabek serta kota-kota lain di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Yogyakarta.

Sejumlah kelompok buruh dan organisasi masyarakat sebelumnya berulang kali mengkritik proses pembahasan Omnibus Law, yang mereka sebut tidak transparan.

 

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, misalnya, mempertanyakan juga proses pembahasan RUU Cipta Kerja yang disebut lembaga itu legislasi tergesa-gesa.

Baca Juga: CEK FAKTA: Benarkah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan Dilarikan ke RS Akibat Wabah Mematikan?

Baca Juga: Tak Gentar, Mulai Besok 2 Juta Buruh Tetap Mogok Nasional 3 Hari Tolak RUU Omnibus Law Disahkan

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Donny Gahral Adian, menanggapi penolakan sejumlah pihak atas disahkannya RUU itu, termasuk mengenai mosi tidak percaya yang disebutnya "sah di alam demokrasi".

"Ruang beda pendapat terbuka, tapi ada mekanisme konstitusional untuk mengajukan keberatan yaitu melalui mekanisme judicial review [ke Mahkamah Konstitusi]," katanya.

Terkait mosi tidak percaya, ia mengatakan itu tak tepat dilayangkan ke pemerintah. "Perlu dicatat bahwa ini adalah produk bersama antara DPR dan pemerintah."

"DPR itu representasi kekuatan politik yang ada sekarang. Artinya, tak tepat jika mosi tidak percaya diajukan ke pemerintah karena lembaga yang buat UU adalah DPR, meski pemerintah turut andil merumuskannya," ujarnya.

Baca Juga: Kabar Baik bagi Pelajar, Guru dan Dosen, Oktober Kemendikbud Kembali Buka Pendaftaran Kuota Gratis

Ia mengatakan pemerintah juga tak bisa melarang demonstrasi, tapi menyarankan pihak yang menolak untuk mempertimbangkan keadaan pandemi Covid-19.

Di sisi lain, Polri telah mengeluarkan telegram yang berisi arahan untuk pencegahan mogok massal dan demonstrasi buruh terkait Omnibus Law karena alasan pandemi Covid-19.

Kelompok-kelompok buruh dan sejumlah organisasi masyarakat belum satu kata mengenai uji materi undang-undang ke MK. Ketua KASBI, Nining Elitos, mengatakan belum berpikir melakukannya.

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi dari Universitas Andalas, Feri Amsar yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Omnibus Law menegaskan pihaknya siap membawa RUU Cipta Kerja untuk diuji ke Mahakamah Konstitusi (MK) jika akhirnya disahkan oleh DPR dan pemerintah.

Baca Juga: Pulang dari Rumah Sakit Corona, Trump Sesumbar Lebih Sehat 20 Tahun

Diberitakan sebelumnya, Omnibus Law terkait ketenagakerjaan yang masuk dalam Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) akhirnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI, Jakarta, Senin 5 Oktober 2020.

Sekadar diketahui sebelumnya, RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini telah melalui proses pengesahan di tingkat I yakni Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama dengan pemerintah yang diwakili oleh Menko Perekonomian beserta sejumlah kementerian terkait.

Berdasarkan pantauan di kanal Youtube, meski diluar gedung DPR diwarnai aksi unjuk rasa dan protes di kalangan Fraksi Partai Demokrat (FPD), pimpinan DPR tetap 'ndableg' mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja yang kontroversial dan sarat kepentingan asing itu.

"Fraksi Partai Demokrat menolak pembahasan RUU Cipta Kerja ini, dan meminta agar ditunda pembahasan terkait pengambilan keputusan RUU Cipta Kerja."

"Pimpinan kenapa ini terburu-buru pimpinan, rakyat di luar bertanya-tanya, kawan-kawan semua di ruangan ini, jangan sampai di ruangan ini,” kata anggota FPD Irwan dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan.

Baca Juga: Dua Fraksi di DPR RI Ini Konsisten Dukung Buruh Tolak Omnibus Law Cipta Kerja

Kemudian, Wakil Ketua DPR selaku pimpinan sidang Azis Syamsuddin menanyakan apa substansi dari interupsinya.

Irwan menjawab bahwa RUU ini memperparah kerusakan lingkungan, menghilangkan hak-hak di daerah dan menghilangkan hak-hak rakyat kecil. "Kalau mau dihargai tolong hargai..,” kemudian mikrofon Irwan dimatikan.

Azis menjelaskan bahwa pembahasan di tingkat pertama telah dilakukan, FPD juga ikut pembahasan dalam rapat kerja (Raker), Rapat Panja, Rapat Timus dan Timsin, dan pembicaraan di tingkat pertama telah dilakukan.

"Dan Fraksi Demokrat telah menyampaikan, apa yang menjadi sikap Partai Demokrat tidak hilang dalam rapat paripurna ini,” tegas politikus Partai Golkar itu.

Kemudian, anggota FPD lainnya Didi Irawadi mengajukan interupsi. Didi mengajak pimpinan DPR dan perwakilan pemerintah untuk melihat langsung ke luar.

Baca Juga: Omnibus Law Ketenagakerjaan Pro Asing Disahkan? Ribuan Buruh Kepung DPR Hari Ini

Hari ini, banyak pekerja dan masyarakat yang menderita akibat Covid-19. Tidak bijaksana jika RUU kontroversial ini disahkan hari ini. Kembali, Azis mempertanyakan apa substansinya.

Didi mengatakan bahwa FPD meminta pengambilan keputusan RUU Ciptaker ini ditunda. Dan jika keputusan ini tidak bulat, dia menyarankan mekanisme voting.

"Jika keputusan ini menjadi keputusan yang tidak bulat, kami minta divoting saja. Ini bukan keputusan menang dan kalah. Bukan masalah,” kata Didi.

Namun, Azis meminta agar Didi tidak mengajarkan soal mekanisme pengambilan keputusan kepada pimpinan DPR.

"Pak Didi tidak perlu mengajari kami,” pintanya.

Didi menegaskan bahwa pihaknya tidak mengajari pimpinan, tapi ini karena adanya aspirasi dari publik yang demikian luar biasa. Sebagai wakil rakyat yang haknya sama dengan pimpinan DPR, ia berhak menyampaikan apa yang menjadi aspirasi.

Baca Juga: Sambil Tolak RUU Omnibus Law di Bogor, FSP RTMMSPSI Ungkap 63.000 Pekerja Rokok Menganggur

"Kalau tidak tercapai saya kira ada mekansime yang dilakukan yakni mekanisme ditunda atau voting,” kata Didi.

Diberitakan sebelumnya, ribuan buruh mengepung DPR RI hari ini tekait Omnibus Law Cipta Kerja yang disahkan DPR ini, karena banyak poin yang tak memihak pekerja.

Salah satu poin Omnibus Law Cipta Kerja yang ditolak serikat buruh yakni pasal tentang menghilangkan ketentuan terkait upah minimum sektoral.

Penerapan upah sektoral selama ini dilakukan lewat penetapan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) dan Upah Sektoral (UMSK). Dengan dihapuskannya UMK, maka otomatis skema upah minimum akan menggunakan standar Upah Minimum Provinsi (UMP).

Sebagai informasi, dalam aturan skema upah minimum yang diatur dalam Pasal 88 dan Pasal 89 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah minimum terdiri dari UMK dan UMP.

Baik UMP dan UMK, ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan bupati/wali kota. Penetapan UMK dan UMP didasarkan atas perhitungan Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Baca Juga: Dukung Omnibus Law, Pemkot dan DPRD Kota Bogor Cabut 7 Perda Ini

KHL saat ini berlaku 60 item, sementara yang diusulkan oleh serikat buruh mencapai 78 item komponen. Dijelaskan lebih lanjut di Pasal 90 UU Nomor 13 Tahun 2003, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang ditetapkan.

Sementara itu dalam RUU Cipta Kerja Omnibus Law BAB IV Ketenagakerjaan Bagian 2, disebutkan bahwa di antara pasal 88 dan pasal 89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disisipkan tujuh pasal yakni pasal 88A sampai 88G.

Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI, Kahar Cahyono, mengungkapkan terdapat beberapa pasal yang dinilai dapat merugikan buruh/pekerja.

Pertama, pasal 88C, menurutnya bunyi pasal itu berarti menghilangkan upah minimum sektoral kabupaten/kota. Artinya, buruh yang saat ini upahnya mengacu upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) atau upah minimum kabupaten/kota (UMK) akan dirugikan. "Pasal 88 C. Upah Minimum hanya UMP gitu? Tidak ada UMSK," jelasnya.

Sebagai perbandingan, UMK 2020 di Kabupaten Karawang Rp 4.594.324, Kota Bekasi Rp 4.589.708, Kabupaten Bekasi Rp. 4.498.961, dan Kota Depok Rp 4.202.105.

Kemudian pasal 88D ayat (1), disebutkan formula kenaikan upah minimum hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi. Artinya, penetapan formula ini lebih buruk daripada penetapan kenaikan upah minimum berdasarkan PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.

"Lah terus formula kenaikan cuma dikali ke Pertumbuhan Ekonomi? (Ini) Lebih buruk dari PP 78, yang kenaikannya berdasarkan inflansi dan pertumbuhan ekonomi," kata Kahar***

 

 

Editor: Iyud Walhadi

Tags

Terkini

Terpopuler