Secara visual lebih bagus penggambaran seseorang yang berpikir keras itu lewat rokoknya. Itulah sebabnya adegan di mana layar dipenuhi asap rokok sebagai metafora sumpeknya suasana politik Indonesia. Film adalah sebuah proses menciptakan realitas, tentu saja sutradara sah saja menerjemahkan sebuah pengadeganan.
Memang tidak adil serta merta menuduh Arifin C. Noer melakukan patgulipat dengan penguasa untuk membuat film ini. Suasana kebatinan saat itu memang sulit bagi Arifin untuk mendapatkan narasumber berbeda dari versi pemerintah. Namun Arifin pasti paham bahwa skenario yang dikembangkan merupakan stempel legitimasi propaganda Orde Baru.
Baca Juga: Arteria Dahlan Bantah Disebut Cucu Pendiri PKI: Nenek Saya Tokoh Masyumi
Seorang sutradara ketika sepakat menerima sebuah pekerjaan, sudah melakukan kompromi antara ruang komersial dan ruang idealisme. Kita tidak bisa menggugat pilihan ini, sama seperti pilihan sutradara mengerjakan film percintaan remaja atau film komedi.
Ini mungkin sudah masuk pertimbangan produser G. Dwipayana dari Perum Perusahaan Film Negara (PFN) ketika memutuskan untuk memilih Arifin C. Noer ketimbang Teguh Karya. Keduanya adalah sutradara papan atas yang awalnya jadi kandidat untuk mengerjakan proyek besar ini.
Salah satu sumber utama Arifin C. Noer untuk mengembangkan skenario adalah buku Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia yang ditulis oleh tokoh sejarawan militer Nugroho Notosusanto dan jaksa Ismail Saleh.
Buku ini memuat pemeriksaan Team Pemeriksa Pusat (Teperpu) kepada ajudan Bung Karno, Kolonel Bambang Wijanarko yang dicurigai banyak mengandung kebohongan. Kelak kesaksian Bambang Wijanarko dibantah oleh ajudan lain seperti Mangil atau Maulwi Saelan.
Baca Juga: Arteria Dahlan 'Cengok' Disebut Kakeknya Pendiri PKI Sumbar