"Rakyat Indonesia tidak rakus atau eksploitatif terhadap siapapun yang meminta bantuan mereka untuk dipilih menjadi pejabat. Rakyat tidak melihat jumlah banyaknya uang yang diserangkan di waktu fajar," jelasnya.
Boleh hanya 100 ribu rupiah, atau bahkan maklum-maklum saja andaikan hanya 50 ribu rupiah. Itu sudah cukup untuk memilih calon pejabat sehingga menjadi pejabat. Rakyat Indonesia tidak rakus.
Rakyat Indonesia sangat pandai bersyukur, dan canggih memanfaatkan uang meskipun hanya 50 ribu rupiah.
Pun rakyat Indonesia sangat rasional, sangat memperhitungkan dimensi historisitas suatu keadaan. Kalau Bapaknya jelas-jelas dipilih secara nasional menjadi Presiden, ya sudah selayaknya kalau anaknya atau dan menantunya menjadi Walikota atau Bupati, kalau perlu menjadi Gubernur pada tahap berikutnya.
"Jangan bodoh. Memang demikian hukum alamnya, logika sosialnya maupun keniscayaan politiknya. Rasional dan kausalitatif-dialektis juga kalau rakyat juga sudah berpikir jauh untuk mengorientasikan kelak anak dan menantu ini duduk di kursi yang sekarang diduduki oleh Bapak atau mertuanya," ungkapnya.
Dulu terang benderang semua makhluk di bumi maupun langit tahu bahwa Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia adalah Bung Karno.
"Maka tidak ada yang nalar dan rasional melebihi kenyataan bahwa estafeta kepemimpinan berikutnya juga ada di tangan putri Bung Karno," katanya.
Sangat masuk akal bahwa partai politik terbesar dan paling pegang kendali sejarah Negara dan bangsa Indonesia haruslah putri Proklamator.
Menurutnya, bangsa Indonesia sudah sangat tua usia peradabannya. Mereka tidak membutuhkan slogan kosong dan jargon cengeng seperti itu. Kalau Kerbau terusnya ya Gudel.
"Kalau Sapi pemegang estafetnya ya Pedèt. Sangat rasional, sangat mendasar mempertimbangkan kontinuitas mutu sejarah. Regenerasi Kuda ya jangan Kadal, pewaris Buaya ya mosok Tokèk," katanya.***