Polemik Legalisasi Miras, Pakar UIN Jakarta: Minta Pemerintah Tinjau Ulang Perpres Nomor 10 Tahun 2021

- 1 Maret 2021, 21:24 WIB
Ilustrasi Miras
Ilustrasi Miras /SalatigaTerkini/Ari Pianto

ISU BOGOR - Kebijakan Presiden Jokowi terkait legalisasi minuman keras (miras) yang menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 tahun 2021 pada 2 Februari 2021 terus menuai polemik.

Bahkan, Pakar Hukum Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie meminta pemerintah meninjau ulang Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, yang memuat soal investasi minuman beralkohol atau miras.

“Saya berpendapat ketentuan mengenai investasi di industri minuman keras (miras) yang mengandung alkohol agar ditinjau ulang oleh pemerintah,” ungkap Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta dalam keterangan pers tertulisnya sebagaimana dilansir dari laman NU Online, Senin 1 Maret 2021.

Baca Juga: MANTAP! Besok Rame-rame Ulama Tolak Legalisasi Miras

Lebih lanjut Tholabi menegaskan bahwa dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik harus berpijak pada filosofis, sosiologis, dan yuridis.

“Nah, dari perspektif ini, Perpres No 10 tahun 2021 ini menimbulkan kontradiksi," tegasnya.

Selain itu, ia menyebut polemik Perpres ini tetap harus ditempatkan dalam perdebatan konstitusional.

Baca Juga: Jokowi Terbitkan Perpres Miras, Amien Rais: Saya Kehabisan Kata-kata

Tujuannya agar mengurangi perdebatan publik yang kontradiktif. Tholabi menuturkan, ketentuan yang mengatur investasi di industri minuman keras dapat diujimaterikan ke Mahkamah Agung (MA).

“Kami menyarankan perdebatan mengenai Perpres No 10 Tahun 2021 ini dapat diujimaterikan di Mahkamah Agung (MA). Meski, harus dicatat, keberadaan Perpres ini merupakan perintah dari UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” kata Tholabi, mengingatkan.

Polemik Perpres yang memuat investasi minuman keras ini, ujarnya, merupakan konsekuensi dari proses penyusunan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dalam proses penyusunannya pada tahun lalu banyak dipersoalkan publik.

Baca Juga: Polres Bogor Gencar Razia Miras di Kawasan Puncak Selama Cuti Bersama

“Dampak nyata dari keberadaan UU Cipta Kerja ini memberi implikasi nyata dalam aturan turunan di bawahnya,” ujarnya.

Ia membandingkan, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang melahirkan aturan turunan Perpres Nomor 44 Tahun 2016 dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 yang memiliki aturan turunan Perpres Nomor 10 Tahun 2021.

"Dari dua aturan turunan tersebut terjadi perbedaan yang signifikan, khususnya dalam menempatkan industri minuman keras yang mengandung alkohol,” katanya.

Baca Juga: Jokowi Teken Perpres Nomor 10 Tahun 2021, Amien Rais Bacakan Surat Al Baqarah dan Al Maidah

Ia menjelaskan, di Perpres Nomor 44 Tahun 2016 masuk klasifikasi daftar bidang usaha tertutup.

Sementara pada Perpres Nomor 10 Tahun 2021, industri minuman keras beralkohol masuk dalam kategori daftar bidang usaha persyaratan tertentu.

Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) se-Indonesia ini menerangkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6 Perpres Nomor 10 Tahun 2021.

Di pasal itu disebutkan, semua jenis penanam modal diperbolehkan investasi di jenis usaha ini dengan persyaratan penanaman modal untuk penanam modal dalam negeri.

Sementara persyaratan penanaman modal dengan pembatasan kepemilikan modal asing dan persyaratan penanaman modal dengan perizinan khusus.

“Persyaratan untuk penanaman modal di industri miras ini dibatasi pada wilayah tertentu yakni Bali, NTT, Sulawesi Utara, Papua dan dimungkinkan daerah lain dengan syarat ditetapkan oleh Kepala BPKM atas usulan gubernur,” urai Tholabi.

Baca Juga: Sejumlah Terapis dan Ribuan Botol Miras Diamankan Dalam Operasi Pekat PSBB Bogor

Di samping itu, ia menyebut bahwa polemik yang muncul ini juga disoal oleh sejumlah fraksi di DPR. Tholabi berpendapat, hal itu lantaran kurang pengawasan dari DPR dalam penyusunan aturan turunan sebuah undang-undang.

“Fungsi pengawasan yang dimiliki DPR khususnya dalam urusan legislasi eksekutif sangat lemah. Padahal, penyusunan aturan turunan oleh eksekutif merupakan bagian tak terpisahkan dari kerja pemerintah yang harus diawasi oleh DPR. Ini amanat konstitusi," sebut Tholabi.

Kritik sejumlah fraksi di DPR terhadap Perpres No 10 Tahun 2021 menunjukkan kerja eksekutif dalam urusan legislasi, khususnya dalam membentuk aturan pendelegasian yang notabene amanat UU tidak berjalan.

“Kami mendorong ke depan perlu diatur mekanisme pengawasan DPR secara rigid terhadap pemerintah dalam penyusunan aturan turunan dari sebuah UU,” tutur Tholabi, menyarankan.***

Editor: Iyud Walhadi

Sumber: Instagram NU Online @nuonline_id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x