Ipi menjelaskan, sedangkan permasalahan kedua, KPK juga menyoroti dalam segi aspek pelaksanaan, misalnya terkait lemahnya sistem pengawasan proses pedistribusian tabung LPG ukuran 3 kilogram.
Ada beberapa masalah yang ditemukan KPK, yaitu kurangnya sosialisasi dari Pertamina dan agen kepada pangkalan yang kemudian menyebabkan banyak pangkalan tidak mengisi logbook (buku catatan) dengan benar.
Baca Juga: Diguyur Hujan, Ridwan Kamil Surati Jokowi Tolak Omnibus Law
Selain itu adalah minimnya sanksi kepada agen oleh pihak PT. Pertamina (Persero). Kemudian juga minimnya sanksi dari agen ke pangkalan untuk yang menjual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) padahal tidak sesuai dengan logbook.
Dalam kesempatan ini, Ipi juga menjelaskan soal lemahnya sistem kendali dalam implementasi penetapan HET. Salah satunya adalah tidak adanya ketentuan mengenai bagaimana pemerintah daerah (pemda) dalam mengatur HET.
Kemudian Kementerian ESDM juga tidak mengevaluasi HET mulai dari tingkat pemerintah daerah. Kemudian agen juga jarang melakukan pengawasan ke pangkalannya atau sama seperti Pertamina yang tidak bisa selalu mengawasi agennya.
Baca Juga: Habis Jokowi Kabur, Terbitlah Taggar Kang Emil yang Jadi Trending Topic Twitter di Demo Omnibus Law
Ipi menambahkan, Dinas Perdagangan Kabupaten/Kota setempat tidak mempunyai wewenang untuk menindak hanya bisa memberikan imbauan.
Akibatnya harga tabung gas elpiji ukuran 3 kilogram di pangkalan juatru dijual lebih tinggi dari HET, hal ini terjadi karena HET tidak dievaluasi secara berkala atau berkelanjutan.
Sementara itu, permasalahan terakhir itu disebabkan karena tidak operasionalnya pengaturan sistem zonasi distribusi LPG yang sebelumnya telah mendapatkan subsidi atau Public Service Obligation (PSO) dari Pemerintah.