Bahaya! Pandemi Covid-19 Ternyata Bisa Tingkatkan Kasus Stunting Anak

- 23 November 2020, 12:52 WIB
ILUSTRASI Stunting: Rektor UI menjelaskan untuk capai penurunan angka stunting, perlu adanya kolaborasi dari pemerintah, masyarakat, lembaga dan kampus.
ILUSTRASI Stunting: Rektor UI menjelaskan untuk capai penurunan angka stunting, perlu adanya kolaborasi dari pemerintah, masyarakat, lembaga dan kampus. //DOK. PIKIRAN RAKYAT/Pikiran Rakyat

ISU BOGOR - Pandemi Covid-19 ini ternyata bisa berpengaruh terhadap peningkatan kasus stunting pada anak.

Dosen IPB University sekaligus Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Dr Tin Herawati mengatakan bahwa stunting pada umumnya terjadi karena asupan gizi yang tidak memadai dan serangan infeksi yang terjadi pada masa 1000 hari pertama kehidupan (HPK).

Untuk diketahui, Stunting adalah kondisi gagal pertumbuhan pada anak akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama sehingga anak lebih pendek atau perawakan pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam perkembangan kognitif.

"Di masa pandemi COVID-19, rawan terjadinya masalah gizi termasuk stunting. Berbagai hasil kajian di masa pandemi menunjukkan bahwa makanan yang dikonsumsi menjadi lebih sedikit dan kualitas makanan menjadi lebih buruk sebagai akibat dari ketahanan ekonomi keluarga yang menurun. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa isu kerawanan pangan muncul di masa pandemi akan berimplikasi pada buruknya asupan gizi yang memberi peluang terjadinya masalah gizi, termasuk stunting,” ujarnya dalam siaran pers IPB.

Baca Juga: Red Velvet Akan Lakukan Comeback Pasca Kontroversi Irene, Knetz: Mengecewakan

Baca Juga: Kalahkan Rekor Sebelumnya: Sejak Dirilis, BLACKPINK DDU-DU DDU-DU Raih 1,4 Miliar Tayangan

Baca Juga: BLACKPINK Rilis Teaser Video Baru, BLINK: Konser Online Kah?


Kondisi ini akan semakin mengkhawatirkan jika asupan gizi yang buruk terjadi pada masa 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK), yaitu masa 270 hari atau 9 bulan dalam kandungan ditambah 730 hari atau sampai anak berusia dua tahun.

Isu lain yang muncul di masa pendemi adalah keharmonisan keluarga. Hasil kajian selama pandemi, ditemukan tindakan kekerasan dan perselisihan antara suami isteri. Hal ini berpeluang pada perceraian.

Menurut Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, kasus perceraian terus meningkat setiap tahun dan pola yang sama juga terjadi pada masa pandemi COVID-19.

Penyebab perceraian terbanyak adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus serta masalah ekonomi. Kasus perceraian banyak terjadi pada usia perkawinan di bawah lima tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar perceraian terjadi pada usia perkawinan masih muda, yang memiliki peluang usai anaknya masih di bawah lima tahun mungkin juga di bawah dua tahun.

Halaman:

Editor: Yudhi Maulana Aditama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x