FABA Dicabut dari Daftar Limbah B3, Ilmuwan dan Akademisi Sambut Positif: Sudah Sesuai Hati Nurani

16 Maret 2021, 15:47 WIB
FABA Dicabut dari Daftar Limbah Berbahaya, Ilmuwan dan LIPI Sebut Sudah Sesuai Hati Nurani /Tangkapan layar YouTube @MNCTrijaya

ISU BOGOR - Sejumlah ilmuwan dan akademisi menyambut positif dengan dikeluarkannya Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) sebagai limbah B3 menyambut positif, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.

Menurut Kepala Pusat Penelitian Metalurgi dan Material Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nurul Taufiqurochman dengan terbitnya aturan yang mengeluarkan FABA dari limbah B3 dan NonB3 ini adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu.

"Sebagai seorang scientist ini suatu yang ditunggu, karena kami di Indonesia cukup berpengalaman, dalam hal karakterisasi dari bahan-bahan atau material sesungguhnya. Saya kira, FABA ini sebetulnya tidak jauh dari mineral," kata Nurul dalam Spesial Polemik Trijaya "FABA bukan B3, Mengapa?" pada Selasa 16 Maret 2021.

Baca Juga: BNPB Sebut Limbah Industri Berpotensi Jadi Penyebab Banjir di Karawang

Baca Juga: Wali Kota Tangerang Arief Wismansyah Siap Diperiksa Terkait Limbah Sampah APD Dibuang di Bogor

Tak hanya itu, kata dia, dengan dicabutnya FABA dari limbah B3 artinya aturan pemerintah yang baru ini sudah sesuai dengan hati nurani ilmuwan.

"Dicabutnya FABA dari B3 ini saya pikir sudah sesuai dengan hati nurani ilmuwan. Kami sejak awal, ya mohon maaf, ketika PP 101 tahun 2014 (memasukan FABA sebagai limbah B3) tercengang melihatnya. Bahkan sempat mempertanyakan ke KLHK, tentang tata cara membuat kebijakan yang baik dan benar, sebab ini sesuatu yang strategis harusnya melibatkan ilmuan dibidangnya," ungkapnya.

Namun demikian, pihaknya memaklumi, karena keterlambatan pengetahuan Indonesia. Sehingga sekarang dengan dikeluarkannya FABA dari limbah B3, maka cukup bagus untuk diperbaiki.

"Jadi saya yakin ini memang sudah tepat. Saya juga dulu menjabat sebagai Ketua Konsorsium Pemanfaatan FABA tentang paraturan-peraturan yang ada di dunia. Kami telah melakukan pengkajian di dunia ini hampir tidak ada yang mengatakan FABA itu limbah B3. Yang ada hanya limbah biasa yang perlu penanganan khusus," katanya.

Baca Juga: Limbah APD Ditemukan di Bogor Berasal dari Hotel Isolasi di Tangerang

Baca Juga: Ungkap Kasus Pembuangan Limbah Medis Covid-19, Polres Bogor Tetapkan Dua Tersangka

Menurutnay, berdasarkan hasil kajian FABA dari empat aspek, mulai dari karakteristik kandungan zat berbahaya komposisi FABA, toksisitas, pemanfaatan hingga ambang batasnya.

"Kita ilmuwan tidak membahas masalah itu, apa yang sebenarnya terjadi dengan negara kita bagaimana sebuah kebijakan berdasarkan science. Ini khawatir kebijakan tidak sesuai kaidah ilmiah dampaknya pasti besar," ungkapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surbaya Januarti Jaya Ekaputri. Menurutnya keputusan pemerintah mengeluarkan PP Nomor 22 tahun 2021 ini sudah tepat.

"Putusan ini, kalau menurut saya ini adalah hadiah terbesar buat indonesia. Berkah luar biasa, terlepas dari saya seorang ilmuwan. Saya melihat dari kacamata bangsa ini, dari sisi infrastruktur karena saya orang sipil," jelasnya.

Bahkan, Januarti dari sisi infrastruktur saat ini Indonesia sedang gesit melakukan pembangunan jalan. Jika FABA ini dikelola dengan baik, alangkah hebatnya negara ini.

"Kalau misalnya ini bisa dimanfaatkan, ini alangkah hebatnya Indonesia. Kita belum bicara masalah pemanfaatan," katanya.

Pihaknya melihat dari segi regulasi cukup berbahagia dan senang. Dengan demikian, kata dia,orang-orang atau ilmuwan Indonesia mulai berhati nurani.

"Betul betul mendudukan yang beracun itu tidak beracun. Kita tidak bisa memungkiri bahwa jumlahnya itu besar. Ini prestasi indonesia yang luar biasa, yang harusnya dilakukan puluhan tahun yang lalu.
Apalagi sekarang, karena sedang pembangunan infrastruktur," katanya.

Sementara itu, dari segi lingkungan kata Januarti bahwa sebetulnya harus juga mengajarkan penggunaan semen agar tidak banyak-banyak karena itu mencemari lingkungan dengan CO2.

"Nah kalau misalkan itu bisa dikurangi semennya kita bisa menyelamatkan lingkungan sekaligus.
Dengan dikeluarkannya Faba dari B3 dari daftar ini sudah benar, artinya dia masih limbah. Kita terima dia masih limbah memang, karena by product, tetapi karena terdaftar jadi terkontrol," katanya.

Pihaknya kembali menegaskan FABA itu bukan limbah beracun sesuai aturan yang dikeluarkan sekarang ini.

"Nah ini benar banget. B3 itu sebetulnya ada berbahaya ada beracun, tapikan di kombinasi jadi B3 jadi berbahaya dan beracun. itu yang harus kita perhatikan. Seperti nasi itu akan berbahaya apabila dalam jumlah banyak. Tapi apakah nasi itu beracun, dia bukan bahan beracun," katanya.

Maka dari itu, bahan berbahaya dengan bahan beracun itu berbeda, jadi bahan yang beracun pasti berbahaya, tetapi bahan yang berbahaya belum tentu beracun.

"Jadi kalau sudah dinyatakan itu beracun, pasti dia berbahaya. Nah ini berbahaya dari beracun ditimpakan kepada FABA benda yang tidak bersalah dan itu masuk dalam kategori fitnah," ungkapnya seraya berkelakar.

Hingga saat ini, kata dia, belum ada yang bisa menjawab alasan FABA sempat dimasukan sebagai limbah B3. Bahkan pihaknya juga masih mempertanyakan.

"FABA dimasukan dalam B3 itu pada tahun 2014 itu untuk memperkuat dari perundang-undang sebelumnya. Tapi yang tegas itu di 2014 menjadi sandaran kita ini. Nanti akan menjadi pidana kalau kita langgar karena PP 101 itu mengikat," katanya.

Tetap Harus Hati-hati

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama Dosen Teknik Lingkungan FST Universitas Airlangga, Nita Citrasari, mengaku setuju dengan dicabutnya FABA dari kategori B3..

"Memang dalam penelitian yang kita lakukan memang tidak ada dasar, ternyata beberapa FABA yang kita teliti memiliki kandungan logam beratnya pun dibawah batas yang diizinkan," katanya.

Meski demikian, lanjut dia, dengan dicabutnya FABA sebagai limbah B3, tetapi menjadi kekhawatiran jika penggunaannya secara berlebih.

"Sama seperti nasi dikonsumsi terlalu banyak itu efeknya menjadi berbahaya. Hanya tetap hati-hati nanti. Sebab kita berpikir bahwa kesimpulannya selama ini FABA di Indonesia sudah mendekati 10 juta ton. Di PLTU sudah banyak, kami dari lingkungan memfungsikan kontrol jadi tidak serta merta telah keluar dari B3, tetap harus dikontrol," katanya.

Sebab, katanya, jika melihat PP 101 tahun 2014 yang memasukan FABA dalam daftar limbah B3, pihaknya selaku akademisi sangat sulit sekali dalam mengabdikan ke masyarakat.

"Misal karena daerah tertinggal, kita sumbang rumah-rumah berbahan fly ash, baik beton dan batu bata, paving block itu kita tidak bergerak karena memang limbah B3. Kalau sekarang sudah bisa, itu yang membuat kami senang, tapi kemudian. kalau kita bawa ke suatu daerah, maka kita harus analisis daya dukung daerahnya," pungkasnya.***

Editor: Iyud Walhadi

Tags

Terkini

Terpopuler