Fenomena Lintang Kemukus Menurut LAPAN Belum Bisa Dipastikan Nama Jenis Benda Luar Angkasa Tersebut

13 Oktober 2020, 11:40 WIB
Tangkapan layar heboh Lintang Kemukus muncul di Langit Jawa pada Sabtu malam 10 Oktober 2020. /Instagram @ndorobeii

ISU BOGOR - Hebohnya fenomena Lintang Kemukus atau biasa disebut sebagai komet yang terjadi di langit Jawa akhirnya ditanggapi pihak Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN).

Meski demikian, LAPAN melalui Peneliti Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) Emanuel Sungging menyatakan pihaknya belum bisa memastikan nama jenis benda luar angkasa yang dikenal masyarakat sebegai fenomena Lintang Kemukus, pada Sabtu malam 10 Oktober 2020.

"Kalau istilah tradisional untuk bintang berekor, bisa meteor bisa komet. Karena nenek moyang kita hanya melihat tanpa mempelajari perbedaan keduanya," paparnya saat dikonfirmasi terkait fenomena Lintang Kemukus yang sempat meramaikan jagat maya, Selasa 13 Oktober 2020.

Baca Juga: Fenomena Cleret Taun Muncul di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri, Belalai Air Peringatan Awal Tahun

Baca Juga: Lintang Kemukus Menurut Kosmologi Jawa Dulu dan Sekarang, Tanda Konflik dan Kehidupan Susah

Baca Juga: Fenomena Komet Lintang Kemukus di Belahan Dunia, Mitos Pertanda Perang Sampai Isu Kiamat

Ia menjelaskan meteor atau bintang jatuh merupakan batu luar angkasa yang memasuki atmosfer Bumi dengan mengalami proses penguapan.

"Sedangkan komet adalah sebongkah benda luar angkasa yang mengandung es, batu, serta serpihan debu. Jadi fenomena (Lintang Kemukus) kali ini kemungkinan adalah meteor karena kejadian fenomena ini berbarengan dengan berbagai puncak hujan meteor," jelasnya.

Pihaknya memastikan bahwa hujan meteor ini tidak berbahaya dan sebuah fenomena lumrah terjadi. Meski normal terjadi, Fenomena Lintang kemukus ini sebetulnya sudah sering terjadi hanya saja tak terlihat lantaran adanya polusi di langit.

Baca Juga: Fenomena Lintang Kemukus Menurut Astrophile, Legenda Keris Majapahit dan Istilah 'Berambut Panjang'

"Lain halnya dengan zaman nenek moyang kita yang masih sangat minim polusi cahaya, sehingga fenomena Lintang Kemukus itu bisa diamati dengan mudah," paparnya.

Sekadar diketahui, Sabtu malam 10 Oktober, masyarakat di di pulau Jawa, khususnya di Tuban, Yogyakarta dan Jawa Tengah hingga Karawan, Jawa Barat sempat dibuat heboh dengan kemunculan Lintang Kemukus. Dikutip dari akun instagram @ndorobeii menyebut "Area tuban apakah kalian melihanya, apakah itu," tulisnya.

Praktis, unggahan Lintang Kemukus tersebut membuat geger netizen yang mengikutinya. "Sauron ini mah... Muncul saat akhir2 jaman.... Yg paham aja.. wkwkwkw cek google kalo gak tau sauroon.." tulis @
andryjatmiko88.

Baca Juga: Heboh Fenomena Lintang Kemukus Juga Terjadi di Negara Ini dengan Sebutan Fireball, Ini kata LAPAN

"Aku td liat sumpah, bentar bgt lewatnya, di Karawang (Jawa Barat) .. huhu aku kira petir, emang apa ini min?," kata @lianidian. Sementara ada pula netizen dengan akun @saefulohsafitri menyebut "Kata orang tua jaman dulu itu pertanda sebuah negeri dalam bahaya," katanya.

Sementara itu dikutip dari Historia.id, Lintang Kemukus dipercaya sebagai hantu pembawa maut berwujud bola arwah.

Terkadang ia muncul sebagai rombongan prajurit ganas yang bisa membunuh manusia ketika mereka tertidur. Hantu bernama Lampor itu kerap menimbulkan suara gaduh. Suaranya berasal dari iringan kereta kuda dan derap kaki pasukan.

Baca Juga: Fenomena Lintang Kemukus Muncul di Langit Jawa, Antara Mitos dan Tetengger Pagebluk

Beberapa masyarakat Jawa mempercayai kalau mereka adalah pasukan Nyi Roro Kidul yang tengah bergerak dari Laut Selatan ke Gunung Merapi atau Keraton Yogyakarta.

Sementara masyarakat di Jawa Timur percaya kalau Lampor muncul bersamaan dengan wabah penyakit.

Lampor mencari korbannya seringkali di bulan Sapar pada malam hari.

Korban dicekik lalu dibawa dengan keranda. Jika itu terjadi, mereka bakalan mati seketika.

Baca Juga: Fenomena La Nina Segera Datang, BNPB Minta Masyarakat Waspadai Bencana Banjir dan Longsor

Namun, Lampor punya kelemahan. Konon, ia tak bisa duduk atau jongkok. Jadi orang-orang akan memilih tidur di bawah dipan atau di lantai agar Lampor tak mencekik mereka.

Dwi Cahyono, arkeolog yang mengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, mengatakan kalau isu setan Lampor semacam itu marak di Jawa Tengah dan Timur sampai pada 1960-an. Lambat laun cerita itu menghilang.

Desas-desus seputar Lampor kemungkinan muncul manakala banyak terjadi wabah penyakit pada masa lampau. Jika ia datang orang bisa mati dalam tidurnya.

Baca Juga: 5 Fakta Tanaman Hias Fenomenal Janda Bolong yang Dibanderol Seharga Mobil Bekas

"Wabah penyakit dalam konsepsi lama direlasikan dengan peristiwa mistis, seperti pada hantu Lampor," kata Dwi kepada Historia.

Terkadang dalam percakapan, kata lampor disandingkan dengan kata pagebluk, menjadi pagebluk lampor.

Lampor secara harfiah berasal dari kata Jawa Kuna, lampur. Artinya mengembara atau bepergian. Sementara pagebluk adalah istilah Jawa untuk menyebut wabah penyakit.

Baca Juga: Ini Sinopsis Film yang Ditonton Hotman Paris Terkait Omnibus Law, Kisah Nyata Ruth Bader Ginsburg

Istilah pagebluk lampor kemudian memberi penegasan kalau pada masa lalu mungkin pernah terjadi pagebluk yang dahsyat dampaknya. Soal dahsyatnya pagebluk ini, ada perkataan dalam bahasa Jawa Baru yang populer.

"Isuk loro, sore mati, ini kan memberi gambaran betapa ganas penyakitnya, dalam durasi sesingkat itu orang mati," ujar Dwi.

Kata-kata itu dijumpai dalam kisah Babad Tanah Jawi. Jadi, setelah Amangkurat I wafat, Mataram tertimpa musibah. banyak orang sakit. Negara rusak. Udara tidak baik. Makanan mahal.

Baca Juga: Hotman Paris Emosi Saat Ingatkan Jokowi Soal UU Omnibus Law Cipta Kerja Ada Netizen yang Asbun

Hujan tak turun, sehingga udara begitu panas. Negara Mataram seperti terbakar. Banyak orang meninggal. Pengemis tersebar di sepanjang jalan atau sungai. Banyak penderita sakit borok, kudis, pathek, bubul, dan sejenisnya. Orang yang sakit di waktu pagi, sorennya meninggal.

"Jadi dari situ kita melihat bahwa pada masa lalu ada gambaran tentang bencana penyakit," lanjut Dwi.

Lewat Tetenger Alam

Mungkin saking menakutkannya dampak pagebluk, orang Jawa pun mulai mencari pertanda atau tetenger sebelum wabah datang.

Pada zaman Mataram Islam misalnya, pagebluk dihubungkan dengan kemunculan bintang berekor atau komet. Orang Jawa menyebutnya Lintang Kemukus.

Baca Juga: Demo Mereda, Netizen Perang Tagar Omnibus Law

Menurut tradisi mereka, kemunculan komet pada arah tertentu memiliki arti, di antaranya sebagai pertanda kemunculan pagebluk.

"Memang umumnya penampakkan komet dimaknai sebagai membawa ‘hal yang kurang baik’, kecuali apabila muncul di arah barat," jelas Dwi.

Berdasarkan buku Sejarah Kutha Sala: Kraton Sala, Bengawan Sala, Gunung Lawu yang ditulis R.M. Ng. Tiknopranoto dan R. Mardisuwignya, Dwi menjelaskan bila komet muncul di arah timur tandanya ada raja yang sedang berbela sungkawa.

Lalu rakyatnya bingung. Desa pun banyak yang mengalami kerusakan dan kesusahan. Harga beras dan padi murah, tetapi emas mahal harganya.

Bila bintang berekor muncul di tenggara menandakan ada raja yang mangkat. Orang desa banyak yang pindah. Hujan jarang. Buah banyak yang rusak.

Baca Juga: No Bra Day 13 Oktober 2020, Peneliti: Payudara Tidak Dapat Keuntungan dari Penolakan Gravitasi

Ada wabah penyakit yang membuat banyak orang sakit dan meninggal. Beras dan padi mahal. Kerbau dan sapi banyak yang dijual.

Apabila komet muncul di arah selatan tandanya ada raja mangkat. Para pembesar susah. Banyak hujan. Hasil kebun melimpah. Beras, padi, kerbau, dan sapi dihargai murah.

Orang desa merana, karenanya mereka pun mengagungkan kekuasaan Tuhan Yang Maha Suci. Kalau komet muncul di barat daya artinya ada raja mangkat. Orang desa melakukan kebajikan. Beras dan padi murah.

Hasil kebun berlimpah. Tapi kerbau dan sapi banyak yang mati. Jika komet muncul di barat tandanya ada penobatan raja. Para pembesar dan orang desa senang.

Baca Juga: Rafael Nadal Samai Rekor Roger Federer, Berikut Fakta Menarik Sang Juara Grand Slam French Open 2020

Beras dan padi pun murah. Apa yang ditanam berbuah subur dan cepat menghasilkan. Hujan akan turun deras dan lama. Apapun barang yang dijual-belikan murah harganya, karena memperoleh berkah Tuhan.

Lalu kalau Lintang Kemukus muncul di barat laut, itu pertanda ada raja yang berebut kekuasaan. Para adipati juga berselisih, berebut kekuasaan. Sementara warga desa bersedih hati. Kerbau dan sapinya banyak yang mati.

Hujan dan petir terjadi di musim yang salah. Kekurangan makin meluas dan berlangsung lama. Beras dan padi mahal, namun emas murah.

Apabila ada komet muncul di utara, maknanya ada raja yang kalut pikiran lantaran kekeruhan di dalam pemerintahannya.

Baca Juga: Negara Ini Biarkan Hutannya Dijadikan Peternakan Mayat Manusia, Demi Sebuah Penelitian Dekomposisi

Timbul perselisihan yang semakin berkembang menjadi peperangan. Beras dan padi mahal. Namun harga emas murah. Selain tanda adanya wabah penyakit pada manusia, lintang kemukus juga memberi pertanda ada wabah penyakit yang akan menyerang hewan.

Ada pertanda kalau kerbau dan sapi banyak yang mati. Itu disebutnya aratan. Bila lintang muncul di arah barat daya dan di barat laut.

"Ada pertanda alam yang di masa lalu dipersepsi sebagai tengara tentang adanya kematian,"

"Lampor itu juga merupakan keyakinan lokal sebenarnya tidak secara langsung bicara tentang penyakit tapi ada dampak yang berhubungan dengan penyakit."

Cara Memotong Rantai Penularan

Karenanya musibah yang terjadi akibat wabah penyakit bisa disebut sebagai malapetaka. Dwi menjelaskan, secara harfiah, dalam konteks Jawa Kuno dan Jawa Tengahan kata mala berarti kotor, cabul, najis secara fisik dan moral, noda, cedera, cacat, dan dosa. Kata itu bisa juga berarti penyakit.

"Terlihat bahwa pada mulanya malapetaka bertalian dengan bencana penyakit, yang kemudian diperluas artinya ke bermacam bencana," ujar Dwi.

Dengan pengertian itu, seringkali wabah penyakit, yang termasuk ke dalam malapetaka tadi, disembuhkan tidak lewat penanganan medis. "Ini kan suatu isu penyakit kemudian membias ke hal yang di luar penyakit," kata Dwi.

Baca Juga: Atlet Lari Legendaris Indonesia Eduardus Nabunome Meninggal Dunia, Penuh Haru Ini Perjuangannya

Misalnya, ada masyarakat yang membuat tumpeng untuk mengatasi serangan pagebluk. Seperti dijumpai pada masyarakat Tengger, suku asli yang mendiami wilayah Gunung Bromo dan Semeru, Jawa Timur. Mereka punya Tumpeng Pras.

Namanya berkenaan dengan cara tumpeng itu diperlakukan. Setelah diupacarai, puncak tumpeng akan dikepras. Diyakini, pemotong ini salah satunya untuk menghilangkan penyakit.

"Jadi secara simbol tumpeng dan praktik social distancing ini sama prinsipnya. Memotong rantai penularan," jelas Dwi.

Ketika wabah terjadi biasanya di wilayah masyarakat Tengger terjadi penyimpangan yang bersifat makrokosmos.

Tandanya seperti ada harimau yang masuk kampung. Ini menyimpang karena perkampungan penduduk bukanlah habitat harimau.

Baca Juga: Dua Warga Kudus Tewas Setelah Tertimbun Longsor Tebing 10 Meter

"Ini isyarat akan ada penyimpangan di dunia manusia. Misalnya banyak anak mati secara beruntun. Pagebluk itu tadi. Menghilangkannya dengan membuat tumpeng pras. Memang digunakan untuk kepentingan ini,” jelas Dwi.

Secara umum, menurut Bani Sudardi, dosen Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta, dalam "Konsep Pengobatan Tradisional Menurut Primbon Jawa", terbit di jurnal Humaniora Vol. 14/2002, orang Jawa percaya kemungkinan mereka sakit bergantung pada kualitas hubunganya dengan lingkungan.

Mereka yakin bahwa manusia adalah bagian tak terpisahkan dari suatu tatanan kosmis.

Itu mengapa, sebagaimana menurut sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa III: Warisan Kerajaan Konsentris, ritual-ritual pedesaan seperti oleh masyarakat Tengger tadi, banyak dilakuan demi menjaga keserasian semesta.

Baca Juga: 7 Warga Bogor Raya Dilaporkan Meninggal Dunia Terkait Covid-19 Dalam Sehari

Antara desa dan kosmos harus seimbang agar kehidupan tak bergoyang. Sementara wabah penyakit yang menimpa manusia ataupun binatang adalah pertanda tentang adanya kekacauan di mikrokosmos.

Adapun kemunculan lintang kemukus merupakan pertanda adanya krisis pada makrokosmosnya.

"Komet itu kan penyimpangan. Dalam kondisi normal komet akan tetap di garis orbitnya. Ini seringkali dipercayai akan diikuti dengan penyimpangan mikrokosmos, pagebluk,” jelas Dwi.***

Editor: Iyud Walhadi

Sumber: Historia.id

Tags

Terkini

Terpopuler