Pengamat: Presiden Jokowi Tutup Mata Terhadap Apa yang Terjadi di KPK

- 7 Juni 2021, 15:44 WIB
Ilustrasi KPK.
Ilustrasi KPK. /ANTARA

ISU BOGOR - Pengamat Politik dari Universitas Paramadina, Khoirul Umam, menyebut Presiden Jokowi tutup mata atas kegaduhan terkait Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pada dasarnya, kata Khoirul Umam yang juga menjabat Managing Director Paramadina Public Policy Institute,apa yang terjadi di KPK saat ini tidak terlepas dari fenomena politik yang berkaitan Pemilu Presiden 2024.

Menyangkut TWK yang menyasar puluhan pegawai yang disingkirkan dari KPK itu hanyalah topeng atau kedok.

"Kedok yang memang disiapkan sejak tahun 2017, Kemenpan RB sudah disiapkan dan seolah-olah itu grand design, penghancuran KPK sudah dipersiapkan sedemikian rupa dengan dijalan step by step," ungkapnya dalam Seminar Pengkerdilan KPK Membaca Arah Politik Anti Korupsi di Indonesia yang digelar secara daring, Senin 7 Juni 2021.

Baca Juga: Mahasiswa IPB Gelar Aksi Selamatkan KPK di Depan Gedung Merah Putih

 

Kemudian saat ini meledak satu per satu, dan mereka mencoba menetralisir sesuatu yang ada, itulah nature anti-corruption a chance.

"Di dalam konteks ini TWK itu hanyalah symptomp, dari mulai berjalannya politik neopatrimonialisme di Indonesia," katanya.

Maka dari itu, posisi Presiden Jokowi sangat menentukan, apakah dengan memberikan pernyataan tegas soal 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK tidak boleh dikeluarkan dari KPK. Tapi faktanya 55 orang tetap dikeluarkan.

Baca Juga: Ini Daftar 75 Orang Dipecat dan Gagal Dilantik KPK Hari Ini

"Saya melihat situasi ini sebagai sebuah fakta, pemerintah dalam konteksi ini presiden (Jokowi) tutup mata terhadap apa yang terjadi di KPK per detik ini," katanya.

Baca Juga: Lakukan Aksi Media, BEM IPB: KPK Mulai Melemah Kian Hari

Pihaknya tidak melihat, syukur-syukur besok atau hari ini mengeluarkan statemen yang lebih clear dan meneduhkan dalam hal ini memberikan kepastian terhadap konstelasi internal KPK.

"Tentu akan memberikan kabar baik bagi agenda reformasi yang sekarang sedang mengalami dinamika," katanya.

Berkaitan dengan konteks umum politik di negara-negara berkembang, terutama negara post komunisme yang mencoba untuk menggunakan pendekatan demokratisasi dan liberalisasi pasar seperti yang terjadi di Indonesia.

"Itu secara teoritik memang diharapkan bisa menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih, lebih efektif dan juga lebih baik--Good Governance--disana, sebagai harapan," ungkapnya.

Tapi faktanya, tambah dia, pendekatan neo liberalisme cenderung memfasilitasi lahirnya politik patrimonial.

"Implikasinya situasi tersebut terhadap negara-negara berkembang seringkali penegakan anti korupsi lebih kepada pendekatan politik daripada kekuatan hukum yang sedang bergerak," ungkapnya.

Inilah menjadi concern para akademisi, yang mempertanyakan mengapa negara-negara berkembang seringkali penegakan hukum anti korupsi layu sebelum berkembang.

"Mengapa lembaga-lembaga anti korupsi di Indonesia, mengalami penghancuran lebih dulu, ketika mereka mencoba untuk menjamah ke arah kekuasaan," ungkapnya.

Menurutnya, penghancuran yang sering terjadi terhadap KPK, itu dimulai ketika KPK sudah mulai berani quote by quote menjamah terkait dengan korupsi import bawang putih atau bawang merah.

"Tetapi yang pasti kasus itu, kita semua sudah tahu, Alhamdulillah sekarang sudah hilang dari peredaran. Tapi fakta di lapangan waktu itu hampir semua kalangan aktivis dan pegiat anti korupsi paham siapa yang ada dibelakang kasus tersebut," paparnya.

Saat itu ada sosok figur yang powerfull secara politik dari itu kemudian memiliki link langsung terhadap kekuasaan.

"Berawal dari itulah kemudian penghancuran, penghancuran step by step mulai dilakukan," katanya.

Jika dilihat dari peta politik anti korupsi itu cenderung dikuasai oleh kekuatan patronase. Maka dari itu, jika dilihat garis besarnya fenomena ini terjadi di sejumlah negara berkembang, terutama juga Amerika Latin dan Afrika.

"Sejumlah negara-negara itu memiliki lembaga yang ditujukan sebagai agenda pemberantasan korupsi, tetapi seringkali lembaga itu kemudian dimanfaatkan, sebagai instrumen politik yang dipakai oleh para penguasa untuk mengamankan kepentingannya," ungkapnya.

Jadi dirinya ingin menegaskan dalam konteks ini, sempat berdiskusi dengan pegiat anti korupsi bahwa jangan dianggap penegakan hukum itu sesuatu yang sifatnya terlegal.

"Faktanya ini masuk dalam ruang politik makro, ada kekuatan politik ekonomi disana yang kemudian saling berinteraksi, kemudian ego antar kekuatan baik secara kelembagaan maupun personal. Itu mencakup ada didalamnya disana," tegasnya.***

Editor: Iyud Walhadi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x