KH Hasyim Asyari Hilang dari Kamus Sejarah, Refly Harun: Pejabat Kemendikbud Harus Peka Soal Komunisme

- 21 April 2021, 04:21 WIB
Kolase Foto Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun dan Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid
Kolase Foto Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun dan Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid /

ISU BOGOR - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun ikut angkat bicara soal hilangnya nama pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asyari dari buku Kamus Sejarah Indonesia terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Refly Harun juga menyoroti soal hilangnya nama KH Hasyim Asyari namun muncul nama tokoh-tokoh komunis. Hal tersebut disampaikan di kanal YouTube Refly Harun, Rabu 21 April 2021.

"Salah satu sebuah ormas bisa dibubarkan itu adalah kalau dia mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan pancasila, antara lain komunisme, leninisme. Jadi menurut saya, pejabat-pejabat di lingkungan Kemendikbud, harus peka soal ini (Komunisme)," tegas Refly.

Baca Juga: Jozeph Paul Zhang Klaim Sudah Lepas Status WNI, Refly Harun: Masih Bisa Dijerat UU ITE

Baca Juga: Isu Reshuffle Kabinet, Refly Harun: Ahok Sudah Pernah Dipenjara, Sampai Kapanpun Tidak Bisa Menjadi Menteri

Terkait dengan itu, meskipun barangkali sang pejabat Kemendikbud itu akrab dengan pemikiran-pemikiran tokoh kiri.

Sebab, menurutnya seorang Dirjen Kemendikbud itu adalah seorang intelektual yang ilmu pengetahuannya luas, yang suka dengan teori gerakan-gerakan, terutama gerakan kiri.

"Dan itu bisa dipahami, jika negara kita berada di dalam kekuasaan rezim otoriter orde baru, maka orang-orang yang melakukan gerakan, baik kiri maupun kanan itu selalu akan berhadapan atau bermusuhan dengan pemerintah," katanya.

Baca Juga: Bima Arya Dicecar Soal RS Ummi Bogor, Refly Harun: Habib Rizieq Luar Biasa

Baca Juga: ILC Pamit, Refly Harun: Merasa Sedih Kok Pemerintahan Jokowi Makin Represif

Tetapi, kata dia, jika justru pemerintahnya sendiri yang mulai berhaluan kiri, maka tentu saja akan berhadapan dengan mereka yang berorientasi pada kanan.

"Jadi itulah dinamika politik, karena itu kita membutuhkan keseimbangan, dan keseimbangan itu adanya di Pancasila. Dimana pancasila bukanlah ideologi yang sekuler, tapi juga bukan mengambil agama tertentu sebagai sebuah dasar," ujarnya.

Tapi, Pancasila juga tidak mengenyampingkan esensi dari sebuah agama, sebagai dasar dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.

"Dasar dalam mengambil keputusan, termasuk membuat keputusan UUD sekarang, karena bung Karno pernah berpesan ya, kalau kita ajaran islam mau sebanyak-banyaknya dalam keputusan negara maka kirimlah tokoh-tokoh Islam di legislator DPR, kalau kristen mau begitu maka kirimlah," katanya.

Terkait dengan itu, dalam iklim demokrasi, sebuah identitas itu bukanlah sesuatu yang haram yang penting adalah tidak melanggar kesepakatan atau prosedur dalam berdemokrasi.

"Salah satu ciri demokrasi yaitu adalah harus jujur dan fair, siapa yang melakukan pelanggaran harus dihukum, tetapi yang jadi masalah fairness itu yang tidak bisa didapatkan, terutama kalau yang bersaing adalah incumbent," tandasnya.

Pihaknya mengingatkan Kemendikbud kebobolan berkali-kali, sehingga orang akan percaya bahwa Kemendikbud tidak terlalu peduli dengan agama, pelajaran agama, bahasa dan pancasila.

"Jangan sampai muncul kesan begitu, karena kita tahu PP 57 yang diributkan itu menghilangkan pelajaran pancasila dan bahasa Indonesia, sebagai mata pelajaran wajib di perguruan tinggi," ujarnya.

Namun, kata dia, harus diakui karena itu sudah ada di UU dan tidak bisa dihapus dalam PP, maka mata pelajaran itu harus diperbaiki.

"Memberikan kesadaran kepada mahasiswa, mampu berpikir kritis, konstruktif, sesuai dengan falsafah pancasila, yang merupakan totalitas dari sila pertama sampai sila kelima, mampu berbahasa Indonesia dengan baik, baik lisan maupun tulisan," jelasnya.

Seperti diketahui, seperti dilansir dalam NU online menyebutkan banyak kejanggalan dalam buku kamus sejarah terbitan Kemendikbud.

Baik dalam buku Kamus Sejarah Indonesia Jilid I Nation Formation (1900-1950) dan Kamus Sejarah Indonesia Jilid II Nation Building (1951-1998).

"Ada berbagai kejanggalan dalam buku yang diterbitkan pada tahun 2017 tersebut," tulisnya.

Buku dalam bentuk salinan lunak (soft copy) tersebut beredar luas di tengah masyarakat. Namun, buku itu menuai polemik karena ada protes dari warga Nahdliyin karena tidak mencantumkan nama Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.

Hal itu menunjukkan keganjilan dari proses pembuatan buku itu. Terlebih protes itu ditanggapi Kemendikbud dengan pembelaan diri dan sanggahan yang semakin menunjukkan kejanggalan buku itu. Setidaknya, ada lima kejanggalan mengenai dan di dalam buku tersebut.

1. Klaim belum diterbitkan resmi, tapi ada ISBN Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid membantah pihaknya telah menerbitkan buku tersebut. Melalui siaran pers tertulis, ia menyebut bahwa buku tersebut belum diterbitkan secara resmi.

“Buku Kamus Sejarah Indonesia Jilid I tidak pernah diterbitkan secara resmi,” kata Hilmar melalui siaran pers tertulis pada Senin (19/4).

Meskipun demikian, jika ditilik lebih jauh, bantahan tersebut terbantahkan secara otomatis dengan adanya nomor ISBN.

NU Online mengakses situsweb ISBN Perpustakaan Nasional guna melakukan pencarian nomor ISBN yang tercantum dalam buku tersebut, yakni 978-602-1289-76-1 untuk jilid I dan 978-602-1289-77-8 untuk jilid II.

Hasilnya menunjukkan buku tersebut sudah terbit pada tahun 2017. Adapun penerbitnya adalah Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Dirketorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

2. Tidak ada nama Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari

Kejanggalan selanjutnya, buku tersebut tidak memuat nama Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Padahal pendiri organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia ini disebut dalam keterangan mengenai KH Abdul Wahab Chasbullah. Namun, namanya tidak ada dalam entri tersendiri.

3. Tidak ada nama KH Abdurrahman Wahid Selain Kiai Hasyim, tokoh NU lain yang tidak termaktub dalam buku tersebut adalah cucunya, yakni KH Abdurrahman Wahid.

Kiai yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur itu disebut berulang kali saat menerangkan ayahandanya, KH Abdul Wahid Hasyim dan Anak Agung Gde Agung dan Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah menjabat menteri di eranya menjadi Presiden Keempat Republik Indonesia.

4. Tidak ditemukan istilah Resolusi Jihad Hal lain yang tidak tertulis dalam buku tersebut adalah istilah Resolusi Jihad.

Padahal, seruan yang dimaklumatkan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 tersebut sangat monumental karena mencetuskan Perang 10 November 1945 di Surabaya.

Dalam Ensiklopedia NU, Resolusi Jihad diartikan sebagai seruan yang dikeluarkan oleh NU yang ditujukan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan umat Islam Indonesia untuk berjuang membela tanah air dari penguasaan kembali pihak Belanda dan pihak asing lainnya beberapa waktu setelah proklamasi kemerdekaan.

5. Ada Tanda Tangan Dirjen Kebudayaan

Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid mengklaim bahwa buku Kamus Sejarah Indonesia tidak pernah diterbitkan secara resmi.

Tetapi buku kamus tersebut justru terdapat tanda tangan dirinya sebagai Dirjen Kebudayaan.

6. Kamus Raib dari Website Kemendikbud

Sebelumnya, Kamus Sejarah Indonesia Jilid 1 dan 2 diterbitkan di website rumahbelajar.id milik Kemendikbud. Namun, saat ini kamus dua jilid tersebut tiba-tiba raib atau hilang dari situs web itu.

7. Tokoh nasional tidak ada, tokoh asing masuk

Di saat tokoh-tokoh penting nasional tidak ada, justru nama Gubernur Belanda HJ Van Mook justru dimasukkan.

Diceritakan Van Mook lahir di Semarang 30 Mei 1894 dan meninggal di L’llla de Sorga, Perancis 10 Mei 1965. Tentara dan intelijen Jepang Harada Kumaichi juga dimasukkan dalam kamus.

Tokoh lain yang justru ditemukan adalah tokoh komunis pertama di Asia Henk Sneevliet.

Ada juga beberapa kesalahan teknis, di antaranya ada Dua Entri KH Abdul Wahid Hasyim dan KH Abdul Wahab Chasbullah Jika hal-hal di atas tidak disebutkan, nama KH Abdul Wahid Hasyim justru disebutkan dua kali pada buku Jilid II.

Entri pertama ditulis Abdul Wahid Hasjim, K.H., sedangkan entri kedua ditulis Wachid Hasjim, K.H. Adapun nama KH Abdul Wahab Chasbullah disebutkan dua kali di buku jilid I dan jilid II.

Pada jilid I, namanya termaktub Abdul Wahab Chasbullah, sedangkan pada jilid II namanya tertulis Wahab Chasbullah, K.H.

Editor: Iyud Walhadi

Sumber: Instagram NU Online @nuonline_id YouTube Refly Harun


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah