Sri Mulyani Sebut Kuartal 3 Resesi Ekonomi Semakin Nyata, Warga: Pantas Semakin Susah

25 Agustus 2020, 19:18 WIB
Ilustrasi Resesi Ekonomi /Pixabay

ISU BOGOR - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku telah melihat pada kuartal 3 (Juli-September) resesi ekonomi di Indonesia akan berada di kisaran 0 persen, bahkan minus2 persen.

Kondisi tersebut membuat Indonesia semakin terancam dan masuk dalam jurang pelambatan ekonomi dalam dua kuartal berikutnya.

Dikutip IsuBogor.com dari Galamedianews.com, melansir proyeksi negatif tersebut muncul karena pemerintah melihat aktivitas ekonomi masyarakat dan dunia usaha yang mulai menggeliat Juni 2020 belum cukup kuat untuk berlanjut di kuartal 3.

Baca Juga: Duh! Nilai Tukar Rupiah Jadi yang Terlemah Kedua di Asia Hari Ini 24 Agustus 2020

Sri Mulyani mengatakan ada beberapa sektor usaha yang sudah berbalik positif, namun tidak sedikit yang justru kembali negatif seperti masa pertengahan pandemi covid-19 di dalam negeri.

"Kami melihat di kuartal 3, down side-nya ternyata tetap menunjukkan suatu risiko yang nyata, jadi untuk kuartal 3 kami outlook-nya antara 0 persen hingga negatif 2 persen,"

"Negatif 2 persen karena ada pergeseran dari pergerakan yang terlihat belum sangat solid, meskipun ada beberapa yang sudah positif," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual APBN KiTa, Selasa, 25 Agustus 2020.

Baca Juga: Pulihkan Ekonomi, Presiden Jokowi Alokasikan Rp356,5 triliun Anggaran Kesehatan Hingga Insetif Usaha

Perlu diketahui, mengutip dari Forbes 15 Juli 2020, resesi adalah penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.

Selama resesi, ekonomi berjuang, orang kehilangan pekerjaan, perusahaan membuat lebih sedikit penjualan dan output ekonomi negara secara keseluruhan menurun.

Sri Mulyani menyebutkan, kontraksi ekonomi pada kuartal 3 mungkin terjadi karena tingkat konsumsi masyarakat masih cukup lemah, meski mendapat bantuan sosial (bansos) dari pemerintah. Tingkat konsumsi masyarakat tercatat minus 5,51 persen pada kuartal 2 tahun 2020.

Baca Juga: Kasus Baru Covid-19 Meningkat, Sandi Uno: Ancaman Resesi Ekonomi Semakin Nyata

Sementara realisasi penyaluran anggaran penanganan dampak pandemi covid-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk perlindungan sosial sebesar Rp93,18 triliun per 19 Agustus 2020. Realisasinya setara 45,69 persen dari pagu Rp203,91 triliun.

"Tapi tidak bisa hanya dari bansos untuk mengungkit konsumsi agar mendekati nol persen kalau kelas menengah dan atas belum recovery belanja konsumsinya. Kalau hanya dari bansos, growth (penyaluran) tinggi, tapi tetap tidak bisa mengembalikan fungsi konsumsi," jelasnya.

Selain karena konsumsi masyarakat, mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu melihat kontribusi investasi juga belum maksimal. Pada kuartal 2, pertumbuhan investasi terkontraksi 8,61 persen, sehingga harus ditingkatkan bila tidak ingin ekonomi kembali minus pada kuartal 3.

Baca Juga: Anies Baswedan Berencana Pinjam Rp12,5 Triliun, PSI: Punya Masalah Ekonomi Lu Minjem, Beban Lagi Kan

"Kuncinya adalah konsumsi dan investasi, kalau konsumsi dan investasi masih di negative zone, meskipun pemerintah all out dari segi belanja, akan sangat sulit untuk masuk di dalam zona netral di nol persen di 2020 ini," terangnya.

seperti diberitakan Galamedianews.com dengan judul artikel "Gerbang Resesi di Depan Mata, All Out Belanja Pemerintah Sia-Sia Jika Dua Sektor Ekonomi Ini Negatif" untuk keseluruhan tahun 2020 ini, Sri Mulyani memperkirakan ekonomi Tanah Air akan berada di kisaran minus 1,1 persen hingga positif 0,2 persen.

"Kita akan lihat konsumsi 2020 terutama kuartal 3 dan kuartal 4, apakah mereka bisa kembali pada zona netral minimal atau bahkan sedikit positif," pungkasnya.

Sebelumnya, ekonomi Indonesia sudah terkontraksi 5,32 persen pada kuartal II. Bila ekonomi kuartal 3 kembali minus, maka Indonesia akan menyusul beberapa negara, seperti Singapura, Korea Selatan, hingga Amerika Serikat ke jurang resesi.

Sementara itu dampak dari resesi ekonomi saat ini mulai dirasakan dan dikeluhkan masyarakat. Pasalnya, bisa terlihat dalam sebulan bahkan sepekan terakhir angka pengangguran atau kesempatan untuk memperoleh kerja semakin susah.

"Pantas saya pergi ke jalan dan ke pasar tak seramai biasanya. Bahkan di kantor BPJS Ketenagakerjaan jumlah karyawan yang di PHK untuk mengklaim jaminan hari tua setiap hari antreannya cukup panjang," ungkap Rosdiana (28) warga Bogor Utara, Kota Bogor, Selsa, 25 Agustus 2020.

Bahkan ia rela bekerja serabutan untuk menopang suaminya mencari nafkah. "Biasanya saya hanya diam di rumah saja, sekarang saya terpaksa ikut banting tulang mencari rezeki, karena suami juga sudah kesulitan dan ikut terkena PHK," keluhnya.

Tak hanya itu, berdasarkan pantauan IsuBogor.com sejumlah pusat perbelanjaan di Kota Bogor juga terlihat sepi. Bahkan kios-kios sepatu dan tas di kawasan Tajur, Bogor Timur, Kota Bogor yang biasanya ramai juga tak nampak aktifitas keluar masuk pengunjung.

"Iya mas meski sudah aktif lagi sejak PSBB, tapi tetap saja sepi, nggak seramai dulu. Ini sudah parah katanya sih resesi ekonomi meskipun ngggak ngerti apa artinya, pantas saja udah kayak krisis," keluh Aisah (35) warga Katulampa saat ditemui di kawasan Tajur, Kota Bogor.***(Dicky Aditya/Galamedianews.com)

Editor: Iyud Walhadi

Sumber: Galamedianews

Tags

Terkini

Terpopuler