75 Pegawai KPK Tak Lolos Tes Wawasan Kebangsaan, ICW: Karena Mereka Radikal dalam Pemberantasan Korupsi

8 Mei 2021, 14:43 WIB
Ilustrasi KPK. /kpk.go.id

ISU BOGOR - Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo enggan menyebut proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) itu sebagai ujian karena tidak dimaksudkan untuk itu.

"Saya sih menyebutnya tes abal-abal sajalah, karena nanti kalau sebut TWK itu nanti akan mengurangi spirit dari TWK yang sebenarnya," ungkap Adnan dalam polemik MNC Trijaya dengan topik 'Dramaturgi KPK' yang disiarkan secara virtual, Sabtu 8 Mei 2021.

Lebih lanjut, ia menjelaskan situasi di KPK saat ini tidak bisa dilepaskan dari situasi-situasi sebelumnya, termasuk ketika DPR sepakat untuk merevisi UU KPK.

Baca Juga: Hanya Layani Non Mudik, Penumpang di Stasiun Senen dan Terminal Pulogebang Turun Signifikan

"Sehingga tes yang kemarin dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menurut kita tidak masuk akal, melecehkan dan sebagiannya justru tidak relevan dengan tujuan dari TWK sebenarnya ujung dari semua proses ini," kata Adnan.

Bahkan, kata Adnan, TWK ini bagian dari acara menyingkirkan 75 orang yang selama ini dianggap radikal.

"Kalau saya lihat mereka yang 75 orang ini radikal dalam pemberantasan korupsi, sehingga sangat tidak disukai oleh siapapun yang memang melakukan korupsi," ungkapnya.

Baca Juga: Satgas Nemangkawai: Bangunan Rumah yang Dibakar KKB di Kampung Kimak Ilaga Papua Itu Ternyata PKBM

Dengan demikian, kondisi ini mencerminkan bahwa sebenarnya arah politik pemberantasan korupsi juga sedang tidak baik-baik saja.

"Karena justru orang yang selama ini, punya kepedulian, bahkan berkorban sebagian dari mereka termasuk Novel Baswedan, harus kehilangan matanya untuk menjaga anggaran negara kita dan pajak kita dari praktek-praktek korupsi justru mau disingkirkan," paparnya.

Bahkan, pihaknya mempertanyakan kalau sudah seperti ini, sebetulnya bangsa Indonesia ini hendak dibawa ke mana. Seharusnya, kata dia, dalam pemberantasan korupsi itu bisa dilihat dari capaian sebelumnya.

Baca Juga: 6 Hari Lebaran, Harga Bahan Pokok di Kota Bogor Naik

"Indeks persepsi korupsi kita pada 2020 anjlok. Nah kalau ini terus terjadi, dan terus bergulir, saya kira memang pada intinya KPK itu tidak dikehendaki," tegasnya.

Dalam hal ini, kata Adnan, KPK itu tidak diharapkan dalam konteks politik pemberantasan korupsi saat ini. Sehingga kesannya KPK harus dihilangkan.

"Ya satu per satu pilarnya (dihilangkan), pertama adalah status independensi sebagai badan anti korupsi, itu sudah dicopot dalam revisi UU KPK, yang kedua adalah indpendensi pegawainya, nah ini juga kemudian yang ditarik menjadi ASN," jelasnya.

Bahkan, yang hendak menjadi ASN juga di KPK dihalang-halangi, diproses dengan sedemikian rupa, padahal UU sendiri tidak memandatkan itu.

"Sebenarnya kalau ngomong soal alih status pegawai, ini bukan bicara soal merekrut calon PNS untuk diangkat menjadi PNS, itu dua hal yang berbeda, ini yang saya lihat sepertinya ada akal-akalan upaya untuk mencari mereka-mereka yang dianggap tidak bisa kooperatif dengan pimpinan KPK, terutama Ketua KPK hari ini," tandasnya.

Menurut Adnan, hingga saat ini sikap KPK tidak tegas sehingga dirinya memandang tidak lurus, padahal dalam UU KPK itu leadership atau pengambilan keputusannya kolektif kolegial.

"Misal saja keputusan ini yang maunya pak Firli, kemudian yang lainnya menolak sebenarnya selesai kok, terus akan diproses dengan mekanisme yang ada yaitu langsung dialihkan sebagai PNS," jelasnya.***

Editor: Iyud Walhadi

Tags

Terkini

Terpopuler