Mengenal Silsilah Kerajaan Pajajaran, Fakta atau Mitos? Berikut Penjelasannya

- 5 Oktober 2023, 21:38 WIB
 Ilustrasi Prabu Siliwangi raja Kerajaan Pajajaran
Ilustrasi Prabu Siliwangi raja Kerajaan Pajajaran / Screenshot Youtube Keramat Wali/
ISU BOGOR - Mengenal silsilah Kerajaan Pajajaran menarik untuk dikulik. Sebab, banyak informasi yang simpang siur, dan tak sedikit yang menyebut itu hanya legenda atau mitos belaka.

Namun dalam berbagai sumber referensi buku-buku sejarah, Kerajaan Pajajaran adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan lagi.

Hanya saja minimnya referensi dan bukti otentik, sehingga banyak menimbulkan polemik di kalangan sejarawan.

Nama Kerajaan Pakuan Pajajaran

Tidak ada yang secara eksplisit menyebutkan bahwa Pakuan/Pajajaran/Pakuan Pajajaran sebagai nama kerajaan. Bukti-bukti sejarah yang ada, hampir bisa dipastikan, semuanya menunjuk pada nama pusat kerajaan atau ibu kota.
 

Dikutip dari pustaka.unpad.ac.id disebutkan dalam Makalah "EKSISTENSI KERAJAAN PAJAJARAN DAN PRABU SILIWANGI" yang disampaikan dalam seminar dijelaskan bahwa 6 kerajaannya sendiri dikenal dengan nama Kerajaan Sunda.

Nama inilah yang digunakan terutama oleh “orang luar” ketika menyebut kerajaan yang ada di Tatar Sunda. Namun demikian, harus diakui bahwa tidak jarang nama kerajaan lebih dikenal melalui nama ibu kotanya. Dalam hal ini, istilah “Kerajaan Pajajaran” berarti “Kerajaan Sunda yang ibu kotanya bernama Pajajaran”.

Bahwa nama keraton kemudian meluas menjadi nama ibu kota dan nama kerajaan adalah hal yang biasa. Sebagai contoh, dalam prasasti Putih di Lampung Kesultanan Banten dinamakan ‘Nagara Surasowan”, padahal Surasowan itu nama keraton Banten.

Baca Juga: Bubur Asyura: Sejarah, Makna, dan Cara Membuat

Saunggalah adalah nama keraton, tapi kemudian menjadi nama kota. Yogyakarta pun sebenarnya nama keraton, Ngayogyakarta Hadiningrat, tapi kemudian jadi populer sebagai nama kesultanan/kerajaan (Danasasmita, 1975: 59).

Dengan demikian, melalui konstruksi bernalar seperti itu Kerajaan Pajajaran sebagai sebuah eksistensi bisa diakui keberadaannya secara historis.

Tentang asal-usul dan arti kata Pakuan Pajajaran sendiri terdapat banyak pendapat (Sumadio, 1974: 383), yaitu:

  1. Menghubungkan kata pakwan dengan paku (sejenis pohon, cycas circinalis), sedangkan kata pajajaran diartikan sebagai tempat yang berjajar. Pakuan pajajaran diartikan sebagai tempat dengan pohon paku yang berjajar.
  2. Menghubungkan kata pakwan dengan kata kuwu. Dengan menunjukkan bukti bahwa sebutan pakuwan dan kuwu terdapat dalam Nagarakertagama. 
  3. Kata pakwan berasal dari kata paku (pasak). Kata paku dapat dihubungkan dengan lingga kerajaan yang terletak di samping prasasti Batutulis.
Paku (lingga) berarti pusat atau poros dunia serta sangat erat hubungannya dengan kedudukan raja sebagai pusat jagat.

Ketiga pendapat di atas dibantah oleh Saleh Danasasmita (2003: 18-19). Dengan berdasar pada Carita Parahiyangan dan Koropak 406 yang disebut juga Fragmen Carita Parahiyangan, beliau berkesimpulan bahwa Pakuan Pajajaran berarti “keraton yang berjajar”.

Dikatakan “berjajar” karena jumlah bangunan keratonnya ada lima yang masing-masing diberi nama: Bima, Punta, Narayana, Madura, dan Suradipati.

Bentuk Kerajaan Sunda

Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang berbentuk “federal” yang membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang dipimpin oleh raja-raja “kecil”. Di antaranya adalah Sangiang, Saunggalah, Sindangkasih, Banten, Cirebon, Galuh, Kawali, dan Pakuan.

Hanya tiga kerajaan yang disebut terakhir inilah yang pernah menjadi pusat atau ibu kota Kerajaan Sunda. Pusat atau ibu kota Kerajaan Sunda memang berpindah-pindah.

Mengenai kerjaan Pakuan Pajajaran sendiri sudah berdiri sejak awal abad ke-8. Pendirinya adalah Maharaja Tarusbawa (identik dengan nama Tohaan di Sunda).

Keterangan ini didasarkan pada sejumlah sumber, yaitu Koropak 406, Carita Parahiyangan, Pransasti Canggal, dan naskal lontar MSA.

Nama Prabu Siliwangi

Nama Prabu Siliwangi pun bukan nama imajinatif, bukan nama mitos tapi nama yang historis. Artinya nama ini memiliki pijakan historis.

Dengan demikian, diskusi kita pun tidak lagi pada persoalan “apakah Prabu Siliwangi itu ada atau tidak ada secara historis” karena keberadaannya didukung oleh fakta yang kuat (hard-fact), setidaknya fakta mental dan fakta sosial (mentifact dan socifact).

Yang menarik didiskusikan adalah apakah Prabu Siliwangi itu nama sejati atau nama alias/julukan/gelar. Kalau itu nama alias/gelar/julukan, nama itu identik dengan nama siapa. Juga, apakah gelar ini untuk seorang tokoh atau beberapa toloh? Kunci untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu adalah sumber/fakta.

Kemudian timbul pertanyaaan, adakah sumber/fakta sejarah yang bisa menelusuri eksistensi Prabu Siliwangi?

Keberadaan Prabu Siliwangi bisa ditelusuri pada sejumlah naskah kuna, di antaranya: Naskah Carita Parahiyangan episode XVI (di Perpustakaan Nasional RI Jakarta), Naskah Bujangga Manik (di Perpustakaan Oxford Inggris), Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (naskah lontar abad XVI, koropal 421), Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, dan naskah yang masih kontroversial Naskah Wangsakerta (di Museum Sribaduga Bandung).

Pada awal abad ke-16 pun nama Siliwangi sudah dikenal sebagai salah seorang tokoh dalam cerita pantun. Muncul pertanyaan: nama Prabu Siliwangi itu identik dengan nama siapa?

Pertanyaan ini muncul mengingat dalam daftar nama raja Pajajaran tidak ditemukan nama ini. Pertanyaan berikutnya adalah apakah Prabu Siliwangi merupakan raja terbesar Kerajaan Pajajaran? Pertanyaan ini muncul mengingat betapa populernya nama ini, bahkan hampir menenggelamkan keberadaan namanama raja yang lain.

Secara asumsi, tidak mungkin nama ini muncul, bahkan populer bila nama ini “euweuh di kieuna”, atau menurut istilah Ayip Rosidi “henteu aya buktina sacara historis”!

Konkretnya, di antara sumber yang memuat nama Siliwangi adalah sebagai berikut.

1. Carita Parahiyangan:

“Manak deui Prebu Maharaja, tawasniya ratu tujuh tahun, kéna kabawa ku kalawisaya, kabancana ku seuweu dimanten, ngaran Tohaan. Mundut agung dipipanumbasna. Urang réya sangkan nu angkat ka Jawa, mumul nu lakiyan di Sunda. Pan prangrang di Majapahit. Aya na seuweu. Prebu Wangi ngaranna, inyana Prebu Niskala Wastu Kancana nu surup di Nusalarang ring giri Wanakusuma”.

2. Carita Purwaka Caruban Nagari:

“Hana ta sira natha gung ng siniwi Pakwan Pajajaran Sang Prabu Siliwangi ngaranira, anak Sang Prabu Anggalarang, ring Galuh wangsa nira, ikang rumuhun paradyéng Surawisésa kadatwan ng parahyangan kapernah wétan mandala nira. … Datan lawas pantaraning inabhisekan ta Sang Prabu Siliwangi dumadyakna Naradhipa hing Pakwan Pajajaran déning uwa nira, irika ta sira lawan winastwan Sang Prabu Dewatawisésa paradyéng Pakwan kadatwan yatika Sang Bima wastana”.

3. Naskah Sang Hyang Siksa Kandang Karesian:

“Hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi, prépantun tanya”.

Identifikasi Prabu Siliwangi

Yang sudah jelas dari persoalan ini adalah Prabu Siliwangi itu bukan nama sejati tapi nama alias/julukan/gelar. Poin yang menarik ketika membicarakan Prabu Siliwangi adalah menyoal tokoh ini identik dengan raja yang mana?

Mengenai hal ini setidaknya muncul dua pendapat. Pertama, tokoh Prabu Siliwangi itu banyak. Undang A. Darsa (2011: 32) berpendapat bahwa dari 32 raja Kerajaan Sunda ada empat yang mendapat gelar Prabu Siliwangi.

Mereka adalah raja yang saat memerintah Kerajaan Sunda ditandai dengan geopolitik yang guncang yang terjadi pada abad ke-15 dan 16, yaitu saat Barat masuk, saat Majapahit runtuh, dan saat masyarakat agraris mulai berkenalan dengan ekonomi dagang.

Namun sayang, Undang A. Darsa tidak menyebutkan keempat raja itu siapa saja namanya. Ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa tokoh Prabu Siliwangi itu tujuh, bahkan sampai dua belas orang. Tampaknya ada anggapan bahwa Siliwangi itu gelar resmi raja sehingga setiap raja Pajajaran disebut Siliwangi (Danasasmita, 2003: 142).

Pendapat kedua menyebutkan bahwa Prabu Siliwangi itu hanya satu. Tokoh itu identik dengan Prabu Jayadewata. Terhadap pendapat ini, Ayat Rohaedi (?) (dalam Sumadio, 1993: 394) memberi tanggapan bahwa mengidentikkan Prabu Siliwangi dengan tokoh Prabu Jayadewata (Sri Baduga Maharaja, 1482 – 1521) sebagaimana disebut dalam Carita Parahiyangan dianggap terlalu berani.

Mengapa? Raja yang masih memerintah atau baru beberapa tahun meninggal dunia sudah disebut-sebut namanya sebagai tokoh ceritera patun (pada tahun 1518 atau sebelumnya) dianggap sebagai “pamali”. Tanggapan di atas dikritik oleh Saleh Danasamita, bahwa mengangkat tokoh yang masih hidup dalam sebuah cerita (pantun atau kakawen, misalnya) sudah lumrah.

Terdapat sejumlah contoh kasus mengenai hal ini. Empu Kanwa mengangkat lakon raja Erlangga dalam Kakawen Arjuna Wiwaha; Empu Darmaja mengangkat lakon perkawinan Raja Kameswara dalam Kakawen Smardahana, Empu Sedah dan Empu Panukuh mengangkat lakon Raja Jayabaya dalam Kakawen Bharatayuddha. Lakon cerita dan sang tokoh hidup sezaman.

Hasil dari kolaborasi sejumlah sumber (Purwaka Caruban, Naskan Pamarican, Waruga Jagat, Babad Pajajaran, Carita Parahiyangan, dan Babad Siliwangi) yang dilakukan oleh Saleh Danasasmita tampaknya pendapat yang lebih kuat adalah Prabu Siliwangi itu hanya satu dan identik dengan tikih raja yang bernama Prabu Jayadewata atau Sri Badugamaharaja yang berkuasa sebagai raja Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran pada 1482 – 1521.

Arti Siliwangi

Siliwangi berasal dari kata asilih wewangi yang berarti ganti nama atau ganti ngaran. Dalam bahasa Sunda (kuna), nama (ngaran) sering disebut juga wawangi atau kakasih. Istilah wawangi hanya digunakan untuk seorang tokoh, terkenal, dan punya nama harum.

Secara historis tokoh ini memang berganti nama (asilih wewangi, silihwangi, siliwangi). Pergantian nama ini terjadi ketika pelantikan yang kedua kalinya. Semula bernama Prebu Guru Dewataprana, ketika dilantik jadi raja Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran diganti menjadi Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Pada Prasasti Batu Tulis disebutkan:

“Ini sasakala. Prebu Ratu purane pun diwastu diya wi ngaran Prebu Guru Dewataprana diwastu diya di ngaran Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata”. (Ini tanda peringatan, Prabu Ratu almarhum, beliau dilantik menggunakan nama Prabu Guru Dewataprana, dilantik lagi dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata”).

Nama resmi raja dalam bahasa Sunda disebut wawangi. Arti harfiyahnya adalah wewangi (seuseungit). Disebut demikian karena harum dan masyhurnya raja tampak dalam nama resminya. Keterangan Babad Siliwangi yang menyebutkan nama siliwangi berarti asilih wewangi (mengganti nama) cocok dengan keterangan yang ada pada Prasasti Batutulis. Atas dasar alas an ganti nama atau ganti gelar itulah, Sri Baduga Maharaja menjadi terkenal dengan julukan Siliwangi (Danasasmita, 2003: 67).***

Editor: Iyud Walhadi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah