Kehalalan Vaksin Indonesia Jadi Sorotan Dunia, Mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti Ikut Retweet

- 19 Oktober 2020, 21:19 WIB
Susi Pudjiastuti
Susi Pudjiastuti /

ISU BOGOR - Kehati-hatian Presiden Joko Widodo dalam meluncurkan vaksin Corona virus disease (Covid) yang memerhatikan status halal bagi rakyatnya yang mayoritas muslim mnjadi sorotan dunia.

Melalui Media massa internasional Reuters yang biasa jadi rujukan berita di berbagai negara, kabar perhatian status halal tersebut diakses masyarakat dunia.

Akun dr Andi Khomeini Takdir @dr_koko28 yang mengunggah tangkapan layar berita reuters tersebut mendapat retweet dari Mantan Menteri Kemmenterian Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiaastuti.

Baca Juga: LINK Live Streaming ILC Jam 8 Malam Ini di TvOne, Tema Setahun Jokowi - Ma'ruf, Pandemi hingga Demo

Baca Juga: Awal 2021, Jalan Tembusan Bojonggede - Kemang Bogor Sudah Bisa Dilintasi

Baca Juga: Bogor Dikunjungi PM Baru Jepang Yoshihide Suga, Bima Arya: Suatu Kehormatan untuk Kita Jaga

Dalam unggahannya, dr Andi Khomeini Takdir memberikan keterangan yang menekankan pesan Presiden Joko Widodo yang memilih tidak tergesa-gesa untuk meluncurkan vaksin Covid-19 untuk memerhatikan kehalalan.

"Reuters : Presiden Indonesia mengingatkan agar urusan vaksin tidak tergesa-gesa termasuk karena perlunya memperhatikan kehalalan vaksin tersebut," tulis dr Andi.

 

Dikutip IsuBogor.com dari Reuters, pada Senin, 19 Oktobr 2020, Presiden negara mayoritas Muslim terbesar di dunia, Joko Widodo, pada hari Senin meminta Indonesia untuk tidak terburu-buru meluncurkan vaksin, dengan alasan kekhawatiran atas kesadaran publik tentang label halal.

Dengan lebih dari 365.000 kasus virus korona dan 12.000 kematian, Indonesia telah berjuang untuk mengendalikan wabahnya dan pemerintah telah berlomba untuk mengamankan pasokan vaksin sementara masih dalam pengembangan, menuai kritik dari beberapa ahli epidemiologi karena mencari solusi "peluru perak" sebelumnya kemanjuran dan keamanan vaksin lengkap diketahui.

Menteri senior telah mengindikasikan bahwa otorisasi vaksin darurat dapat diberikan paling cepat November.

Tetapi presiden, yang lebih dikenal dengan julukannya "Jokowi", mengisyaratkan pendekatan yang lebih hati-hati, memperingatkan agar tidak tergesa-gesa dan mendesak pesan publik yang jelas tentang apakah vaksin itu halal, atau diizinkan dalam Islam.

“Saya minta vaksin ini tidak diburu-buru karena rumit sekali,” kata Jokowi jelang rapat tertutup.

“Saya ingin memastikan ada persiapan yang baik. Tentang komunikasi publik, terutama terkait halal dan haram, harga, dan kualitas. ”

Baca Juga: ILC Batal, Sindir Pemerintah Karni Ilyas Kena Balasan: Buat Soal Lapindo Dong

Indonesia sebelumnya telah berjanji untuk memvaksinasi lebih dari 100 juta orang tahun depan, tetapi Jokowi pada hari Senin mengatakan bahwa skala inokulasi di negara kepulauan berpenduduk 270 juta itu akan menjadi tantangan yang unik.

Kontroversi apakah vaksin mematuhi prinsip-prinsip Islam telah menghambat respons kesehatan masyarakat sebelumnya di Indonesia, termasuk pada tahun 2018, ketika Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang menyatakan vaksin campak haram, atau dilarang menurut Islam.

Indonesia telah mendapatkan 50 juta dosis dari China's Sinovac hingga Maret tahun depan dan 100 juta dari AstraZeneca pada April mendatang, di samping kesepakatan lainnya.

Vaksin dari Sinovac serta Sinopharm China dan CanSino Biologics untuk 9,1 juta orang akan tersedia tahun ini, dengan prioritas tenaga kesehatan, kata Achmad Yurianto, seorang pejabat senior kementerian kesehatan.

Ketergesaan Indonesia untuk mengamankan pasokan vaksin yang belum terbukti telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan ahli epidemiologi, beberapa di antaranya berpendapat bahwa Indonesia seharusnya fokus pada pengujian dan pelacakan kontak sampai vaksin yang aman dan efektif tersedia.

Baca Juga: Bogor Dikunjungi PM Baru Jepang Yoshihide Suga, Bima Arya: Suatu Kehormatan untuk Kita Jaga

“Banyak negara mengira vaksin akan menjadi peluru perak mereka untuk mengatasi pandemi,” kata Dicky Budiman, ahli epidemiologi Indonesia dari Griffith University Australia.

“Tapi sayangnya, sejarah pandemi, literatur, tidak mendukung itu.”***

Editor: Linna Syahrial


Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x