Ekspansi Obyek Wisata di Puncak Bogor Ancam Habitat Monyet Ekor Panjang

- 4 November 2023, 13:59 WIB
Ilustrasi monyet ekor panjang di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Telaga Warna, Puncak Bogor.
Ilustrasi monyet ekor panjang di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Telaga Warna, Puncak Bogor. /ISU BOGOR/Mutiara Ananda H.

ISU BOGOR - Brak, suara seperti benda jatuh terdengar dari atap salah satu rumah di kawasan Puncak, Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Suara tersebut secara spontan mengagetkan warga yang berada di sekitarnya. Tak lama setelah itu, terdengar kehebohan warga lantaran suara yang diduga benda jatuh tersebut berasal dari seekor monyet ekor panjang.

Satwa liar yang turun ke perkampungan pada Kamis, 28 September 2023, itu membuat warga riuh. Ada yang ketakutan hingga menutup jendela-jendela rumah, ada pula yang asyik mengabadikan momen yang jarang terjadi tersebut melalui smartphone masing-masing. Tak sendiri, monyet ekor panjang yang singgah di atap rumah warga itu ternyata diikuti oleh satu temannya. Mereka bersama-sama melompat dari satu atap rumah ke atap rumah lainnya.

Sieun asup. Arek kamana atuh? Ceuk urang mah mangkat ka ditu ka handap. (Takut masuk. Mau kemana itu? Kata saya sih mending pergi ke sana ke bawah),” ujar Imas, salah seorang warga.

Selain atap rumah, dua monyet ekor panjang itu bergelantungan pada kabel-kabel listrik yang tersambung dari satu rumah ke rumah lainnya. Tak menghiraukan suara-suara yang bersahutan di sekitar, dua satwa liar tersebut nangkring sejenak di atap rumah sebelum melanjutkan perjalanan. Area yang dipenuhi pohon bambu menjadi tujuan mereka selanjutnya.

Ini bukan kali pertama monyet ekor panjang turun ke pemukiman warga di Puncak, Kabupaten Bogor. Sebelumnya, sudah banyak laporan dari warga mengenai kehadiran monyet-monyet tersebut. Warga menduga, penyebab turunnya hewan primata itu ke kampung karena berkurangnya sumber makanan mereka di hutan.

“Pas keur Lebaran Haji kemarin (2023) kalau gak salah, ada sekitar dua puluh ekor mah gelantungan di pohon beringin di villa, lima ekor turun sampai teras,” terang Lilis, seorang warga yang villanya sempat didatangi gerombolan monyet ekor panjang pada Rabu, 25 Oktober 2023.

Maraknya pembukaan lahan untuk tempat wisata diduga menyebabkan berkurangnya sumber makanan monyet ekor panjang

Pada 2020 hingga 2023 marak pembukaan lahan untuk pembangunan tempat wisata di Puncak Bogor. Salah satunya Rest Area Gunung Mas yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dengan Dinas Perdagangan dan Industri (Disperdagin), serta Kementerian PUPR. Perkebunan teh dengan lanskap perbukitan hijau seluas 7 hektar kini disulap menjadi ruang terbuka berbalut aspal dan beton.

Bukan tanpa tujuan, Pemkab Bogor membangun rest area tersebut untuk menertibkan ratusan pedagang kaki lima (PKL) yang berada di sepanjang Jalan Raya Puncak. Akan tetapi, tiga tahun berselang (2020 - 2023), rest area tersebut belum berfungsi sebagaimana mestinya secara maksimal. Bersamaan dengan pembangunan Rest Area Gunung Mas, pembangunan tempat atau objek wisata baru di Puncak Bogor mulai meningkat, salah satunya di Gunung Mas.

Asisten Manager Bidang Umum dan Legal Agrowisata Gunung Mas PTPN VIII Taukhid Mulya tak menampik adanya perubahan lanskap tersebut. Ia mengatakan saat ini pihaknya sedang mengembangkan wisata di Gunung Mas. Pihak Agrowisata menggandeng 19 mitra dalam pengembangan kawasan wisata di Gunung Mas.

"Ya sebetulnya secara konsep pengembangan sudah dari dulu ya, sudah dibikin siteplan dan sebagainya. Nah, kalau dibilang perubahan pasti ada perubahan. Bedanya ya sekarang kami sudah memiliki berbagai macam fasilitas gitu ya atau pun wahana-wahana gitu," jelas Taukhid di Gunung Mas, Jumat, 13 Oktober 2023.

Di lahan PTPN VIII yang berbeda, sebuah tempat wisata dengan konsep kafe dan camping ground di tengah pergunungan resmi dibuka pada 2021. Nama tempat wisata yang sempat hits dan viral di media sosial itu adalah Pakis Hills. Bila melihat lanskapnya dari dekat, maka tempat wisata tersebut dibangun di area pergunungan yang masih rimbun dengan aneka ragam pohon dan tanaman.

Maraknya pembangunan tempat wisata di Puncak Bogor tersebut diduga kuat menjadi penyebab terganggunya habitat monyet ekor panjang sehingga mereka turun ke pemukiman warga untuk mencari sumber makanan. Hal tersebut juga dirasakan oleh Dede Rahmat, salah satu tokoh masyarakat yang tergabung dalam paguyuban “Karukunan Wargi Puncak” yang baru-baru ini juga menyatakan protes terhadap pembukaan lahan di kawasan Puncak. Menurutnya, satwa-satwa liar yang turun ke pemukiman warga baru-baru ini tak lain karena habitat mereka diganggu oleh aktivitas-aktivitas manusia yang masif.

Sebelumnya, Dede bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam paguyuban “Karukunan Wargi Puncak” mendesak agar pihak PTPN VIII serta sejumlah anak perusahaannya menghentikan sistem Kerjasama Operasional (KSO) di area perkebunan yang berpotensi merusak keanekaragaman hayati dan kelestarian alam Puncak.

Paguyuban Karukunan Wargi Puncak menyuarakan protes terhadap pembukaan lahan di Puncak Bogor yang merusak kawasan hutan dan kebun teh. (ISU BOGOR/Mutiara Ananda H.)
Paguyuban Karukunan Wargi Puncak menyuarakan protes terhadap pembukaan lahan di Puncak Bogor yang merusak kawasan hutan dan kebun teh. (ISU BOGOR/Mutiara Ananda H.)

“Saya tumbuh, besar, berkembang, dan berkeluarga di sini (Puncak), saya tahu persis bagaimana hubungan makhluk hidup yang ada di Puncak. Jarang terjadi makhluk gunung turun ke pemukiman selama kurun waktu 35 tahun paling ada babi hutan karena ada pemburu dia tersesat,” ujar Dede saat ditemui pada Jumat, 3 November 2023.

“Ada aktivitas manusia di atas sana yang coba masuk ke habitat mereka (monyet ekor panjang). Coba dong tolong survey, saya yakinkan dan saya pastikan 90 persen terjadi aktivitas manusia di lahan-lahan yang menurut kami sakral,” sambungnya.

Dugaan tersebut diperkuat dengan pendapat seorang ahli dari Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) Institut Pertanian Bogor (IPB), Entang Iskandar. Ia mengatakan salah satu faktor penyebab monyet ekor panjang masuk ke pemukiman warga karena adanya perubahan lanskap pada habitat mereka. Berkurangnya sumber makanan yang ada di hutan karena dampak dari pembukaan lahan dapat menyebabkan monyet ekor panjang mencari sumber makanan hingga ke kawasan penduduk.

"Pada dasarnya, satwa itu memerlukan pakan ya. Nah, mereka keluar karena butuh sumber makan. Kenapa dia keluar? Karena ada gangguan pada habitat aslinya. Nah, kalau tidak ada gangguan, dengan sumber pakan cukup banyak, tidak ada gangguan habitatnya, kemungkinan kecil mereka akan turun," jelas Entang di PSSP IPB, Senin, 23 Oktober 2023.

Akan tetapi, Taukhid Mulya selaku pengelola kawasan wisata Gunung Mas membantah dugaan tersebut. Dia mengatakan monyet ekor panjang yang turun ke pemukiman warga di Desa Tugu Selatan bukan dari karena terdampak pengembangan wisata di Gunung Mas. Ia menuturkan, pihaknya selalu memerhatikan aspek lingkungan sebelum membangun wahana atau objek wisata baru.

“Kemudian terhadap aspek lingkungan sampai saat ini kondisi (lanskap) Gunung Mas tidak terlalu signifikan perubahannya. Kami mengikuti kaidah-kaidah aspek lingkungan,” terang Taukhid. 

Kendati demikian, Taukhid mengaku tidak mengetahui secara jelas luas area perkebunan teh Gunung Mas yang diratakan untuk kepentingan pembangunan wahana atau objek wisata baru. Ia mengatakan  luas kawasan yang digunakan untuk wisata yakni sekitar 20 hektar dari keseluruhan luas lahan Gunung Mas yang mencapai angka 1.623 hektar. Obyek wisata tersebut akan diperluas hingga 200 hektar.

“Nanti ada juga area-area yang kami kerjasamakan dengan mittra di bidang lainnya. Ada wisata, ada budidaya tanaman, itu di kisaran 200 hektar,” tuturnya.

Minimnya koordinasi antar lembaga menghambat penerapan One Health

Selaras dengan pernyataan pengelola Agrowisata Gunung Mas, Kepala Desa Tugu Selatan Eko Windiana mengatakan bahwa pembangunan tempat wisata di wilayahya sejauh ini tidak menimbulkan perubahan lanskap yang signifikan. Akan tetapi, menanggapi kasus monyet ekor panjang yang turun ke pemukiman warga, Eko mengakui pihaknya belum melakukan kajian maupun koordinasi intens dengan pengelola tempat wisata maupun lembaga konservasi terkait kendala yang ada.

“Kalau kaitan dengan monyet kemarin-kemarin ya, ada sering turun ke rumah warga, kami di pemerintahan desa tidak bisa menyampaikan statement yang represif dengan kondisi saat ini,” kata Eko di Kantor Desa Tugu Selatan.

“Kalau alasan kenapa monyet hari ini datang ke warga ya kita dari pemerintah desa belum sempat mengkaji sejauh ini. Kamu juga belum sempat berkomunikasi kendalanya dari mana, nanti baru kita coba komunikasi,” sambungnya.

Nihilnya koordinasi antar pemerintah desa dengan pengelola wisata dan lembaga konservasi ihwal monyet ekor panjang yang turun ke pemukiman warga menunjukkan bahwa penerapan One Health di kawasan Puncak Bogor belum maksimal. Bahkan, Eko mengatakan pemerintah desa belum memiliki bidang yang menaungi lingkungan hidup maupun satgas One Health.

“Hari ini di Desa Tugu Selatan belum ada (bidang yang menaungi lingkungan hidup), secara komprehensif sih belum ada, kami sedang menyusun, masih dibahas,” ujar Eko.

Terkait masifnya pembanguan tempat-tempat wisata di Gunung Mas dan sekitarnya, Eko menjelaskan bahwa pemerintah desa selalu turut aktif dalam pengawasan dan pertimbangan. Pemerintah desa juga melibatkan warga untuk pengawasan dan pertimbangan tersebut.

Perilaku manusia jadi faktor pendukung turunnya satwa primata ke kawasan pemukiman

Entang Iskandar dari PSSP IPB menjelaskan bahwa kebiasaan manusia bisa mengubah perilaku monyet ekor panjang dalam jangka waktu yang lama. Hal ini bisa menjadi faktor pendukung monyet ekor panjang di Puncak Bogor turun ke pemukiman warga untuk mencari sumber makanan. Di sejumlah tempat wisata di Puncak Bogor, seperti Telaga Warna, Telaga Saat, Warung Patra (Warpat), dan area Puncak Pas terlihat warga maupun wisatawan memberi makan monyet ekor panjang yang turun ke kawasan tersebut. Monyet ekor panjang telah menjadi daya tarik wisatawan yang mengunjungi tempat-tempat wisata di Puncak Bogor.

Monyet ekor panjang memakan snack atau makanan ringan yang ia rebut dari wisatawan di Taman Wisata Alam Telaga Warna, Puncak Bogor. (ISU BOGOR/Mutiara Ananda H.)
Monyet ekor panjang memakan snack atau makanan ringan yang ia rebut dari wisatawan di Taman Wisata Alam Telaga Warna, Puncak Bogor. (ISU BOGOR/Mutiara Ananda H.)

 “Jadi itu habituasi, (yakni) mengondisikan monyet ke dalam sistem yang akan kita terapkan. Karena pada saat wisatawan dating, mereka (monyet ekor panjang) berpikir, wah ada makanan nih pasti, (kalau) ada makanan mereka (wisatawan) pasti akan memberi makan dan mereka (monyet ekor panjang sudah terbiasa dengan itu," jelas  Entang.

Jika dikaitkan dengan kasus monyet ekor panjang yang turun ke pemukiman, menurut pengamatan warga, beberapa di antaranya sering mencoba merebut makanan dari manusia atau warung-warung yang mereka temui. Hal ini menunjukkan adanya indikasi monyet-monyet yang turun ke pemukiman tersebut sudah terbiasa diberi makan oleh manusia sehingga mereka tak ragu menghampiri siapapun yang membawa makanan.

Mirisnya, kata Entang, perilaku monyet ekor panjang yang dipengaruhi kebiasaan manusia tidak bisa berubah ke perilaku alamiahnya secara instan. Diperlukan waktu yang sangat lama untuk memulihkan satwa primata tersebut, salah satunya dengan menghentikan kebiasaan memberi makan pada mereka di tempat-tempat wisata maupun kawasan lainnya.

"Nah, agak sulit untuk mengembalikan mereka ke sistem awal. Perlu usaha terus menerus dengan tidak memberi makan kepada monyet," terang ahli dari PSSP IPB itu. 

Potensi zoonosis dalam konflik manusia dengan monyet ekor panjang di kawasan Puncak Bogor

Luasnya interaksi antara manusia dan monyet ekor panjang di kawasan Puncak Bogor berpotensi menyebabkan penularan penyakit yang bersifat zoonotik dari monyet ekor panjang ke manusia maupun sebaliknya. Entang menjelaskan, monyet ekor panjang yang berinteraksi dengan manusia di pemukiman maupun tempat wisata bisa menularkan sejumlah penyakit, seperti tuberculosis (TBC) dan malaria. Tak hanya dari monyet ekor panjang ke manusia, melainkan juga sebaliknya.

Monyet ekor panjang di atas atap rumah warga di kawasan Puncak, Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. (ISU BOGOR/Mutiara Ananda H.)
Monyet ekor panjang di atas atap rumah warga di kawasan Puncak, Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. (ISU BOGOR/Mutiara Ananda H.)

"Bisa menularkan (penyakit), kemudian selain dari monyet ke manusia bisa juga dari manusia ke monyet,” jelas Entang.

"Bisa saja mereka yang di alam itu kita tidak tahu status kesehatannya, bisa saja TBC, bisa saja malaria. Jika dalam rombongan itu ada yang terkena TBC lalu kontak dengan manusia, maka akan terjadi penyebaran,” sambungnya.

Bahayanya lagi, lanjut Entang, sangat sulit membedakan mana monyet ekor panjang yang membawa penyakit dengan mana yang tidak membawa penyakit. Sebab, untuk mengetahui apakah seekor primata membawa penyakit atau tidak harus melalui pengecekan terlebih dahulu. 

Konflik antar manusia dan monyet ekor panjang di kawasan pemukiman tak hanya terjadi di Puncak Bogor. Empat tahun lalu, tepatnya pada Rabu, 17 September 2019, seorang anak perempuan berusia 7 tahun bernama Elis di Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, dilarikan ke rumah sakit lantaran mendapat interaksi agresif dari monyet yang berada di area pemukiman warga. Karena mendapat luka yang cukup parah di bagian paha, bokong, pinggang, dan betis kanan, Elis harus mendapat perawatan yang sangat intensif. Saat menjalani perawatan, Elis diberi vaksin rabies dan tetanus oleh dokter. 

Terpisah, kasus serupa juga terjadi di Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor pada Mei 2022. Seekor monyet dilaporkan melakukan interaksi agresif kepada anak-anak lantaran kelaparan. Tak bisa dipungkiri, kehadiran hewan primata yang seharusnya berada di hutan tersebut cukup membuat panik.

Berkaca dari sejumlah kasus monyet turun ke pemukiman di Kabupaten Bogor, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bogor diharapkan bisa berkolaborasi untuk mencegah kasus tersebut agar tidak terjadi lagi. Tak hanya itu, terkait konflik manusia dan monyet ekor panjang di kawasan wisata Puncak Bogor yang diduga karena masifnya pembangunan tempat wisata, DLH semestinya memberikan transparansi ihwal pengawasan One Health yang diberikan sudah sejauh mana.

Akan tetapi, saat ditemui oleh isubogor.pikiran-rakyat.com, pihak DLH maupun Dinkes Kabupaten Bogor tidak memberikan akses keterbukaan informasi secara tanggap. Segala upaya sudah ditempuh, mulai dari sambungan telepon, surat, dan mendatangi kantor secara langsung. Namun, hingga berita ini naik, belum ada konfirmasi lebih lanjut dari DLH maupun Dinkes Kabupaten Bogor.***

Editor: Mutiara Ananda Hidayat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah