Umbu Landu Paranggi Meninggal, Cak Nun: Umbu Menghadap Allah Dalam Keadaan Berpuasa

- 6 April 2021, 14:57 WIB
Umbu Landu Paranggi saat memeluk Cak Nun
Umbu Landu Paranggi saat memeluk Cak Nun /CakNun.com

Apakah seseorang harus mengetahui, mengenali, mendalami, dan mengalami apa itu puisi, supaya ia merasakan bahwa ayat-ayat Allah adalah puisi? Itulah yang dirasukkan Umbu ke dalam jiwa saya. Kehidupan ini sendiri adalah puisi. Agama justru adalah alat atau metode agar dilatihkan oleh hati dan jiwa manusia untuk mengenali “kehidupan puisi”. Apa yang tidak indah dari segala sesuatu mengenai Allah? Yang mana yang bukan puisi dari apa saja pun yang ditakdirkan, dilakukan, dikehendaki, diperintahkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya?

Itu problem besar bagi semua pemeluk Agama di seluruh muka bumi. Karena yang diinformasikan dan dibelajarkan kepada mereka tentang Agama adalah kebenaran dan kebaikan, tetapi tanpa keindahan. Kebenaran dan kebaikan yang ditanamkan di akal manusia, tanpa ditemani atau diperjodohkan atau diakarkan dengan atau oleh keindahan, akan cenderung menjadi bahan konflik, pertentangan, permusuhan dan perang, sebagaimana kita alami berabad-abad lamanya.

Rendra bikin pentas drama puitis atau teater mini kata yang berjudul “Bib Bop”, “Rambate Rate Rata”. Dan semua orang mendramatisasikannya sedemikian rupa, tanpa ingat bahwa Allah sudah merintisnya dengan firman “Alif Lam Mim”, “Alif Lam Ro`”, “Kaf Ha Ya ‘Ain Shad” atau bahkan hanya satu huruf: “Nun”.

Semua ahli tafsir mengatakan “hanya Allah yang mengetahui maknanya”. Tanpa mereka menginformasikan manthiq “Kalau memang hanya Allah yang paham, kalau memang manusia tidak mungkin mengerti maknanya, kenapa huruf-huruf itu difirmankan kepada manusia?”

Jawabannya adalah: puisi. Dan untuk sampai ke situ, tidak ada jalan tafsir. Yang ada adalah jalan “tadabbur” sebagaimana yang dirintiskan di masyarakat Maiyah. Di Qur`an hanya ada anjuran atau perintah Allah untuk memikirkan ayat-Nya, “afala tatafakkarun”, “afala tatadzakkarun”. Tetapi tidak ada perintah langsung untuk menafsirkan, meskipun memikirkan bisa diasosiasikan sebagai menafsirkan.

Sedangkan secara sangat jelas Allah menagih manusia:

افلا يتدبرون القران ام على قلوب اقفالها

“Apakah mereka tidak mentadabburi al-Qur’an, atau hati mereka terkunci”

Umbu adalah Guru Tadabbur saya. Umbu adalah pemegang cambuk yang mencambuki punggung kehidupan saya sampai saya menemukan puisi sebagai ujung dari tadabbur kehidupan, sehingga narasi utamanya adalah “kehidupan puisi”. Umbu adalah manusia hati, bukan manusia akal pikiran yang rewel dan ruwet atau bahkan meruwet-ruwetkan diri sebagaimana orang-orang sekolahan di abad ini.

Apakah Umbu mengenal atau bahkan mengerti kosakata “tadabbur”? Apakah Umbu di Malioboro Yogya dan Lembah Pujian Denpasar pernah membuka Kelas Tadabbur dan mengajari murid-muridnya mentadabburi kehidupan?

Halaman:

Editor: Iyud Walhadi

Sumber: CakNun.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x