Umbu Landu Paranggi Meninggal, Cak Nun: Umbu Menghadap Allah Dalam Keadaan Berpuasa

- 6 April 2021, 14:57 WIB
Umbu Landu Paranggi saat memeluk Cak Nun
Umbu Landu Paranggi saat memeluk Cak Nun /CakNun.com

Innahu lillahi wa innahu ilaihi roji’un. Kalimat itu saya tambahi akhiran “hu” karena saya memerlukan catatan setandas-tandasnya tentang kepergian hamba Allah yang amat sangat berjasa memproses pematangan hidup saya di usia remaja pada era 1970-an. Juga untuk mempersaksikan bahwa yang pulang kembali ke haribaan Allah Swt adalah insyaallah yang dulu demikian juga Allah menghadirkannya ke dunia.

Rasulullah Muhammad Saw menyebarkan pernyataan:

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ

“Setiap hamba dilahirkan dalam fithrahnya”.

Ada anak kalimat berikutnya yang saya ragu-ragau apakah Rasulullah Saw benar mengucapkannya. Sebab agak sukar saya nalar bahwa Rasulullah yang diutus untuk seluruh ummat manusia itu bisa “berpikir administratif” dan memfokuskan pandangannya atas manusia berdasarkan identitas formalnya, bukan esensi rohaniahnya atau substansi akhlaknya. Meskipun saya tidak menafikan atau menegasikan bahwa syahadatain menisbahkan identitas formal keagamaan seseorang.

فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ

“Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.”

Tentu tulisan takziyah ini bukan bermaksud membuka diskusi atau perdebatan tentang hal itu. Tetapi karena yang saya takziyahi adalah kepulangan Umbu, maka saya juga wajib menjaga “kemurnian” menurut kadar berpikir saya.

Sedemikian “fithriyah”nya Umbu sehingga tidak seserpih pun saya pernah mengenal kecenderungan institusionalnya. Bahkan ketika seluruh seniman Indonesia menyebutnya “berprofesi” Penyair, saya sendiri tidak melihatnya demikian. Ya Allah ya Rahman Ya Rahim, penyair kok profesi: sedemikian sembrononya manusia modern dengan yang mereka sangka ilmu dalam jiwa mereka. Bahkan Umbu tidak pernah menerbitkan satu buku pun kumpulan puisi. Andaikanpun kita mengakuinya sebagai penyair, semua tahu ia bukan penyair sebagaimana Chairil Anwar, Rendra, Sutardji Calzoum Bachri atau Taufiq Ismail.

Narasi utama Umbu kepada saya dan ratusan muridnya di Yogya maupun di Bali adalah “kehidupan puisi”. Bukan “puisi kehidupan”, di mana kehidupan memuat nuansa-nuansa puisi. Melainkan kehidupan ini sendiri adalah puisi. Semua ciptaan Allah adalah puisi. Adalah poetika. Adalah inti keindahan. Bahkan seluruh isi Kitab Suci adalah puisi.

Halaman:

Editor: Iyud Walhadi

Sumber: CakNun.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x